Museum Penghancur Dokumen

Afrizal Malna

CAPUNG DI ATAS PAGAR TINGGI
 
Kertas yang aku gambari dengan padang bintang-
bintang, berwarna kelabu, tempat Tenzin Phuntsok
membakar dirinya. Menambahkan kelabu pada warna
kertas kelabunya. Kertas yang aku gambari dengan
muara padang ikan-ikan, berwarna kelabu, tempat
Chakragunasegaran membakar dirinya. Menambahkan
kelabu pada warna kertas kelabunya. Kediktatoran
kertas kelabu membuat bau busuk berjatuhan dari langit.
Seperti ada bangkai yang terus dipuja dalam warna
kelabu langit, kenangan di antara kacang hijau dan
bunga matahari. Capung-capung beterbangan, di atas
pagar tinggi, tak terukur, antara aku dan semua
aku. Membuat sebuah pagi dari sebuah kamus yang
telah dikosongkan dari nama-nama waktu. Membuat
sebuah kuil di atas kematian kenyataan.



PENGGARIS DESEMBER
 
Desember adalah penggaris yang lurus, lurus sekali,
dan putus dalam kelurusannya. Putus yang
tersembunyi dalam patahannya sendiri, putus yang
melihat kesunyian dari patahannya sendiri.
 
Dan angin, dan yang mengerang di bawah penggaris,
dan berkata, dan besok — JanuariJanuari — akan
datang melalui jalur yang lalu, Jalur dengan bau
rempah-rempah, gula, kopi, tembakau. Tembakau
yang membuat orang menangis hingga selat Malaka.
Ingatlah kapal-kapal tanpa penggaris, ingatlah derap
kereta kuda yang mengukur kesedihanmu. Tentang
pernyataan Desember yang lurus sekali dan putus
dalam kelurusannya. Dan angin. Angin yang
menyulam waktu dari keretakannya.

Kenanglah angin di atas penggaris dan angin di
bawah penggaris. Dan mereka yang menyulam
keretakan dari putus ke putus. Jiwa yang berubah
ketika waktu tidak lagi mengikuti gerak: semua yang
kau lempar tetap berada dalam tanganmu. Putus.
Kenanglah di atas penggaris. Semua yang kau lihat
tetap berada dalam matamu. Putus. Kenanglah di
lidahmu seperti Desember yang melompat ke
Januari. Kenanglah potongan-potongan Desember
yang mengambil dirinya sendiri di bawah penggaris
di atas penggaris. Melepaskan diri dari semua yang
kau maknakan di seberang hari ini.

Desember, Desember, penggaris yang kesunyian
dalam kesunyian.
Dia yang lurus dan yang putus. Dia yang mengukur
semua patahan. Dia yang memandang Januari,
seperti penggaris yang mengukur suara jantungmu.

Dia yang bukan sendiri ketika melihat, ketika melihat penggaris
membuat ladang-ladang bintang di seberang hari ini.


 
UNTUK TUAN KEHIDUPAN
 
Aku menanak beras untuk makan anjing-anjing-
ku. Kadang mengingatkan aku saat-saat lapar
— “selamat malam tuan-tuan cacing dalam pe-
rut” — aku memunguti setiap butir beras yang
terjatuh. Mengumpulkannya satu persatu un-
tuk membuat sebuah benteng di ujung lidahku.
Menunda semua perasaan di sekitar kehidupan
manusia. Upacara lapar dalam daftar ketakutan
dan kaharuan.
 
Anjing-anjingku,
butir-butir beras,
aku,
sebuah benteng,
 
semuanya berkumpul.
Mengelilingi kompor yang lapar.



ULANG TAHUN BERSAMA WIANTA
 
Kami selalu membuat pesta bersama dewa-dewa di
sini. Berenang dalam bahasa yang selalu mengucapkan
selamat pagi kepada kamar mandi. Dewa kami terbuat
dari enzym dan vitamin C. Bau kopi ketika mayat
ayah kami mulai dibakar. Doa kami bukanlah hujatan
kepada orang lain. Kepada kolam renang yang
berbahagia, kepada tiang listrik yang terhormat, hari
ini kami membacakan UUD. 1945 dengan KTP dan
kartu kredit di tangan kami. Bunyi mata uang dari
berbagai bangsa, devisa dan devisa menggetarkan
tanah kami. Kami membuat ukiran dari naik turunnya
harga saham. Kami menari bersama dewa-dewa di
sini, bernyanyi bersama pohon-pohon yang akarnya
menembus hingga kenangan-kenangan tentang
waktu dan setiap perpisahan.
 
Kepada enzym dan vitamin C yang budiman, kepada
kamar tidur yang melarikan diri dari listrik yang mati,
hari ini kami ulang tahun bersama masa kanak-kanak
kami. Besok menjemput tamu dari Rusia, memeriksa
vibrasi otak dan tarian topeng. Ekonomi berjalan
seperti sepatu yang tertukar dengan bahasa Jepang
di sebuah restoran. Besok, kami ulang tahun lagi,
seperti anak-anak yang merayakan … negeri kami
telah merdeka. Merdeka untuk berlibur dari sejarah
dan memasang tiang listrik hingga ke dasar laut.



SUARA YANG BERJALAN DI ATAS KACA
 
Sebuah Pagi. Sebuah jalan yang berlalu dan kembali, adalah se-
buah jalan. Di pinggir kata, dalam selaput pemisah antara
cermin dan kaca. Jalan ke pagi hari. Sebuah pagi yang tak
berulang. Terbuat dari guntingan kertas. Membangunkan sebuah
bintang. Sebuah bintang di kamarmu.
 
Bintang yang meninggalkan cahayanya di sebuah kertas kosong.
Tidak berjalan dia mendalami diam. Sebuah bintang. Tidak berpin-
dah. Dia berputar di atas penggaris kegelapan.
Meninggalkan galaksinya antara cahaya dan melihat. Kecepatan
dalam lorong telescop. Sebuah pagi. Sebuah pagi yang berlalu,
tak bisa menggenggam perpisahan.
 
Sebuah bintang. Sebuah bintang berbisik. Suara yang terperangkap
dalam gelombang sejarahmu. Gelombang debu dalam gesekan
api dan api. Sejarahmu dan hujaman keris. Jeritan dari suara
kebebasan dan massa yang tak berwajah. Kapal-kapal dagang
yang tenggelam. Kuburan massal. Sebuah pagi. Pesawat-pesawat
komunikasi yang membuat badai bahasa. Teori pembunuhan yang
tersimpan dalam gagang pisau.
 
Sebuah bintang. Cahaya yang terus mengembara dalam kegelapan.
Jejak-jejak astronomis yang tersembunyi di luar cahaya. Melintasi
aliran gas. Ledakan es. Ledakan debu di balik keheningan kertas
kosong. Cinta yang pergi dan datang lagi bersama suara-suara di
atas kaca.
 
Ladang kegelapan. Lintasan-lintasan hitam. Sebuah bintang.
Sebuah bintang membunuh dirinya sendiri. Antara keheningan
neutron dan proton yang menjaga sunyi. Antara pagi yang hampir
pagi lagi. Sebuah manusia di tepi bayangannya sendiri.
 
Hening. Sendiri bersama yang sendiri.
Hampir di sana, yang berlalu dan kembali
hampir di sini.



TAMU DARI SEORANG WAKTU
 
Waktu berjalan menjadi lambat di sini. Aku seperti
menunggu orang membuka pintu di antara
membuat pintu. Aku bisa melihat napasku berjalan
dan napasku menghirup udara segar di halaman
depan waktu jadi lambat di sini. Tetapi aku sudah
tidak di sini lagi dan waktu tidak lagi berjalan lambat.
Aku berada di depan gerbang bandara internasional
masih tutup jam 3 pagi tidak di sini. Waktu kembali
menjadi lambat dan aku kembali berada di sini,
tanpa bandara internasional jam 3 pagi. Aku bisa
melihat napasku berjalan mengumpulkan napasku
sebelumnya yang terbuat di antara waktu yang
lambat di antara waktu yang cepat.
 
Aku berada di sini lalu aku berjalan ke jalan yang
bukan di sini lagi. Di sini yang sudah tidak aku lihat
lagi setelah aku berjalan ke jalan yang bukan di
sini lagi. Kenapa aku berjalan dan di sini tidak aku
lihat lagi. Sekarang aku didatangi seekor kucing dari
seekor kucing yang tadi tidak datang dan tidak ada
sebelumnya. Kucing itu matanya seperti bor yang
ingin mengambil ususku dan kenapa aku berpikir
seperti melihat sebuah tindakan yang tidak
bertindak, dan membuat waktu menjadi lebih lam-
bat lagi.
 
Aku sudah tidak di sini, kini, di sini, ketika waktu ber-
putar kembali ke angka 2 setelah angka 2
dilaluinya. Tetapi aku masih di sini dan angka 2 tidak
pergi kemana-mana. Di sini, tempat waktu
menjadikan tubuhku sebagai tiang salib di sini,
dengan wajah yang menunduk ke tanah, tetapi juga
mendongak ke tanah
 
—aku telah kini.


For his outstanding translation of Afrizal Malna's work, Daniel Owen takes first prize—and USD1,000 in prizes!—in the 2019 Close Approximations Translation Contest in the Poetry category. Read judge Eugene Ostashevsky's citation and discover the other contest winners here.