Modernitas Nh. Dini

Laksmi Pamuntjak

"Pengarang dengan demikian [...] mendapatkan tekanan berat. Namun apa pun perlakuan yang ditimpakan padanya, pengalaman pribadinya adalah juga pengalaman bangsanya, dan pengalaman bangsanya adalah juga pengalaman pribadinya. Sebagian, kecil atau besar atau seluruhnya, akan membuncah dalam tulisan-tulisannya dan akan kembali pada bangsanya dalam bentuk kenyataan baru, kenyataan sastra. Hakikat fiksi karenanya adalah juga hakikat sejarah."

—Pramoedya Ananta Toer, "Maaf, Atas Nama Pengalaman"

Apa yang dimaksud dengan "pengalaman bangsa," kita tahu, tak jarang mengambil tempat di luar narasi-narasi besar sejarah. Ia terdiri dari kisah-kisah manusia biasa, yang kerap tak tertampung oleh Sejarah dengan "S" besar (dengan tatapannya yang panoptik). Namun, "semua karya tulis," seperti kata Susan Sontag, pada akhirnya adalah "sebuah spesies mengingat." Dan mengingat adalah sebuah laku yang sangat kental di dalam diri seorang Nurhayati Sri Hardini—atau Nh. Dini, sebagaimana kita lebih mengenalnya. Ia hidup di dalamnya, terjunjung olehnya, mungkin bahkan terselamatkan olehnya.

Mengingat, tentu saja, memiliki banyak modus dan motif; dalam kasus Nh. Dini, ia tak pernah merasa harus menjelas-jelaskan, apalagi meminta maaf, tentang sisi otobiografis karya-karyanya. Himpunan cerita pendek pertamanya, Dua Dunia, di mana ia menyatakan, tanpa beban dan pretensi, "tulisan-tulisan saya lebih banyak mengandung kenyataan hidup daripada hanya khayalan," terbit tahun 1956. Tapi, seperti kita ketahui, adalah kedua novelnya, Pada Sebuah Kapal (1973) dan La Barka (1975) yang memberinya pengakuan sebagai sastrawan yang patut diperhitungkan.

Perkawinannya dengan seorang diplomat Prancis membawanya hidup di pelbagai pelosok dunia: di Jepang, Filipina, Kamboja, Amerika, Belanda, Prancis. Pada 1980, ia kembali ke tanah airnya dan kini menetap di Yogyakarta. Ia dikaruniai dua anak meski ia tidak bahagia dalam perkawinannya.

Hampir sepanjang karirnya, Nh. Dini menulis dan mencatat apa yang terjadi kepada dirinya, pada dunianya. Rangkaian memoar yang lalu dikenal sebagai "Seri Cerita Kenangan" itu diterbitkan setelah novelnya yang terpenting, Pada Sebuah Kapal, mengukuhkan namanya dalam kancah sastra Indonesia. Sebuah Lorong di Kotaku mengisahkan masa kecilnya pra-sekolah. Sekayu (nama kota kelahirannya), meliput hari-harinya beserta keluarganya dari SD sampai SMP. Masa-masanya sebagai seorang istri tertuang dalam sejumlah karya—Kemayoran, Dari Parangakik ke Kampuchea, Jepun, Negerinya Hiroko, sesuai dengan pelbagai wilayah dunia di mana mereka menetap.

Namun, baru pada 2005, dalam Dari Fontenay ke Magallianes, Dini pertama kali bercerita penuh tentang si kapten, sang kekasih gelap yang muncul untuk pertama kalinya di Pada Sebuah Kapal, dan yang keluar masuk dari kehidupannya semenjak ia hidup di Kamboja, tatkala usia perkawinannya baru dua tahun. "Pria itu sudah menjadi bagian dari hidupku. Meskipun kelak kami akan lama tidak bertemu, dia tidak akan lepas dari diri dan batinku." tulisnya. "Dia telah mengajariku banyak hal. Dia juga mengembalikan kepercayaan diriku: aku pantas dikehendaki oleh seorang lelaki seperti dia, pria penuh kualitas tanpa meninggalkan kelembutan dalam sikap dan perilaku yang sewajarnya." Di dalam Dari Fontenay, Dini menamai si kapten "Bagus" (dari "Ayu Bagus," dengan Dini sendiri sebagai "Ayou").

Seorang artis, W. H. Auden menegaskan, harus tanpa nama—sembari bergurau bahwa Shakespeare adalah satu-satunya penulis yang berada di dalam posisi yang beruntung tersebut. Nh. Dini bukan saja bersikukuh ia punya nama: ia ada, dan berwujud penuh. Tak hanya itu —popularitasnya tak datang dari karya "fiksi"-nya melainkan dari buku seri kenangan yang memuat kisah hidupnya. Meski tak satupun "diri," yang dibentuk oleh dirinya sendiri sekalipun, akan pernah sepenuhnya "terkenali" oleh orang lain, tak banyak orang yang sanggup mendedahkan dirinya pada lembar-lembar buku sebagaimana Dini—tak jarang dengan begitu menguasai, begitu egoistis, habis-habisan.

Dan bukannya tanpa alasan. Pada tingkat tertentu, Dari Fontenay ke Magallianes juga merupakan penghujatan panjang Dini terhadap suaminya, yang ia gambarkan sebagai seseorang yang kikir, pemarah, kasar, tak menghargai istri maupun teman, serta berkepribadian ganda. Dini bahkan menyingkap saat ia dipaksa berhubungan intim dengan suaminya (ia menyebut dirinya "diperkosa"), dan yang berakhir dengan kehamilannya dengan anak ketiga yang tidak ia inginkan. Dalam La Grande Borne (2007), ia tak hentinya memaparkan sikap suaminya yang kasar dan misoginistik, sebagaimana ketika sang suami berteriak kepadanya bahwa ia akan menjadi segemuk babi apabila ia tetap bersikeras tinggal sendirian dan "makan-tidur terus" di La Barka (yang menurut Dini, meskipun "di-babi-babi-kan," dijawabnya dengan tenang, "Aku akan menulis! Sepertinya kamu ini lupa bahwa telah menikahi seorang pengarang!"

Dalam Dari Fontenay ke Magallianes, semacam pembeberan serius atas sebuah topik yang pernah digarap Dini dalam bentuk yang lain, kita melihat perpaduan sejumlah unsur. Pertama, Dini berkisah dengan kelugasan sebuah reportase, terutama ketika sedang menggambarkan Paris, disertai upaya mengajarkan sekelumit sejarah kota itu bagi pembaca Indonesia: bahwa di Panthéon seorang pengarang dapat berbaring di bawah satu atap dengan para jenderal, presiden dan mahaguru, bagaimana hal itu merupakan bukti nyata penghargaan bangsa Prancis terhadap pekerja seni. Bahwa menjadi "tamu" seseorang berarti menjadi tamu segenap keluarga orang itu. Perhatian Dini terhadap detail juga tampak ketika ia berkisah tentang kehidupan di daerah pedesaan. Namun, tetap ada jarak antara dirinya dan pembaca; ia seolah hanya ingin kita mengintip dari ambang pintu. Namun, itulah tampaknya aset Dini yang terbesar, baik sebagai penulis maupun sebagai perempuan "yang kenal dunia": ia menyingkapkan sebuah dunia yang tak bisa dimasuki oleh banyak orang.

Kedua, penjabaran waktu yang sedikit acak di awal cerita. Tak jarang kita dibingungkan oleh kalimat macam ini: "Ketika aku menjelajahi daerah Latin di tahun enam puluhan itu, belum terdapat banyak kios atau pojok-pojok tempat penjual makanan Yunani, Afrika, atau makanan siap-saji jenis asing lainnya." Meski seri kenangannya mengklaim bahwa ia memuat hidup Dini di Paris pada tahun '60-an, ia bukan sekadar memoar. Ia adalah sebuah naratif berlapis-lapis yang bahkan meliput empat dasawarsa sebelumnya: "Dari abad ketujuh belas sampai masa tinggalku yang kedua kalinya di Prancis, daerah kaum terpelajar itu terus menambah jumlah universitasnya."

Ketiga, Dini seolah hendak memeluk pembacanya melalui semacam curhat panjang mengenai masalah-masalah hidupnya yang paling personal—sebuah kompensasi, barangkali, atas jarak pedantik yang telah ia tarik. Hal ini tampak dari caranya memperkenalkan figur sang kapten, tanpa build-up, tanpa peringatan, seolah sambil lalu. Sekeping kenangan tentang cuaca di Prancis Selatan tiba-tiba menjelma kenangan tentang koleksi topi yang telah ia kumpulkan bersama sang kapten dalam momen-momen mereka bersama. Dan momen-momen bersama itu ternyata cukup kerap: Hong Kong, Kobe, sejumlah kota di Eropa termasuk di Marseille.

Yang saya maksud dengan hasrat memeluk pembaca adalah asumsi yang mendasari nada naratif Dini yang santai dan apa adanya, bahwa siapa saja yang membaca Dari Fontenay ke Magallianes akan tahu paling tidak hal-hal yang mendasar tentang riwayat hidupnya sampai titik tersebut, karena mereka toh adalah pembaca setianya. Pada saat yang sama, ada rasa percaya diri luar biasa pada Dini untuk membangun karirnya hampir sepenuhnya berdasarkan kisah hidupnya belaka. Ia percaya bahwa hidupnya layak diketahui orang, ia percaya bahwa sang pembaca meletakkan kepercayaan pada dirinya sebagai manusia, pada suaranya sebagai narator, pada versi cerita yang ia ajukan.

Sebab sebuah memoar tak hanya mengungkap fakta-fakta seputar diri kita, tapi juga kehidupan orang-orang lain melalui sebuah perspektif tunggal yang lalu menyajikannya sebagai "kebenaran." Seringkali, pada prakteknya, orang-orang lain itu masih hidup—dengan nama, keluarga, dan masa depan masing-masing. Kiranya tak perlu saya bahas di sini bagaimana getir dan agresifnya Dini mengupas detail-detail negatif tentang suaminya. Ketika kita menulis ulang dalam suara orang pertama, kita seketika terbuka pada banyak kesalahan—tak hanya kealpaan, namun juga harga diri yang tiba-tiba menuntut, rasa bersalah, kegusaran pada diri sendiri, sikap mengasihani diri, atau hasrat mendesak untuk meluruskan segala sesuatu. Dengan kata lain, faktor-faktor yang tak kita kuasai, dan yang berujung pada sensor diri atau embel-embel yang berlebihan.

"Saya" yang kita bangun untuk orang lain, bahkan di atas kertas (atau jangan-jangan justru karena itu), tak pernah merupakan "saya" yang tak tercemar, yang penuh seluruh. (sejujurnya, pernahkah kita demikian?) "Saya" yang kita ciptakan untuk orang lain, dengan tingkat ketelitian yang nyaris brutal, tetap saja "saya" yang dicipta ulang, yang berubah dan menjadi lebih. Medium penciptaan ulang itu—memoar—boleh saja sebuah konstruksi yang otonom (meski inipun gagasan yang lemah, karena bagaimanapun juga semua memoar harus memanggul beban sejarah dan setia pada fakta), namun subyeknya jarang merdeka. Seperti sang novelis, sang penulis otobiografi pun pada akhirnya harus mengatasi tantangan yang dihadapi setiap tukang cerita. Mengutip Michael Cunningham dalam catatan yang menyertai novelnya, Specimen Days, Dini sebagai seorang penulis otobiografi juga "harus memilih derajat akurasi yang membuat kisahnya lebih hidup, atau kurang." Dan sebagaimana kita semua—kau dan aku—ia harus memilih bagian mana dari kehidupannya, dari dirinya maupun dari dunia emosionalnya yang hendak ia tampilkan kepada dunia.

Dalam kasus Dini, yang tampak mencorong adalah kebencian.

Saya tidak mengatakan bahwa memoar ini tidak menunjukkan sisi-sisi lain Dini. Di satu pihak, ia perempuan yang sangat modern, dalam arti seseorang yang berpikir praktis, tangkas dalam urusan-urusan rumah tangga di dalam konteks Barat (tanpa pembantu), sanggup menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga.

Ia juga modern dalam satu hal yang vital: seksualitas. Baginya, tak ada yang tak sahih, apalagi salah, dalam ide perselingkuhan; toh tak ada cinta lagi antara dirinya dan suaminya, ia berdalih. Tak hanya itu—ia juga bicara mengenai seks dengan gamblang, sebagai sesuatu yang tak perlu ditutup-tutupi, apalagi memalukan. Baginya, seks adalah sesuatu yang bisa menakutkan dan memabukkan, membuat ketagihan dan membebaskan, namun juga, terpenting dan terutama, bagian integral dari kehidupan. Bisa jadi detail-detail persetubuhan yang grafis (jauh lebih grafis ketimbang dalam novel-novelnya terdahulu) dan tak jarang panjang lebar, dalam Dari Fontenay ke Magallianes adalah produk dari iklim sastra yang jauh lebih liberal di Indonesia—yang telah akrab dengan upaya-upaya angkatan penulis perempuan era 90-an/millennium baru seperti Ayu Utami atau Djenar Maesa Ayu. Namun juga tersirat bahwa ia adalah bagian dari jati diri seorang Dini; sodokan seorang pengarang senior yang telah merintis ikhwal seks dan seksualitas jauh sebelum Saman terbit tahun 1998.

Seseorang yang modern, kata Walter Benjamin, adalah seseorang yang memilih, yang selalu meletakkan dirinya sebagai subyek. Dini "memilih" tinggal bersama suaminya sambil berselingkuh dengan si kapten yang belakangan kita tahu sebagai orang Prancis. Dini modern karena ia tidak—atau tidak ingin tampil—sentimental, bahkan tentang sang kekasih gelap yang membuatnya bahagia. Jelas pula ia tak ingin terkesan menggantungkan diri pada seorang lelaki. Ada yang stoik pada Dini, entah itu kedok perasaan sebenarnya, atau memang itulah ia sesungguhnya.

Dini jarang menyinggung sang pacar di luar momen-momen pribadi mereka. Ketika ia sedang berkisah tentang kehidupan di luar sang kekasih, tak ada keluh kesah, tak ada kenangan yang bisa membuktikan perselingkuhannya. Tak ada ungkapan rindu yang menyesakkan. Ia dingin dan tak tergoyahkan saat meninggalkan suami dan anak untuk melewatkan dua minggu bersama si kapten di Marseille, dan begitu pula ketika ia harus meninggalkan "Bagus" untuk kembali pada tanggung jawabnya. Mengejutkan, bagaimana santai dan ringkasnya ia menyinggung hal-hal tersebut, seolah ia sedang mengucapkan jadwal kepergian bis; sebab inilah seorang perempuan Jawa yang di satu sisi masih menunjukkan bahwa ia dibesarkan dengan tata krama Jawa ortodoks—kehalusan dalam bersikap, tahan diri, kepatuhan, sikap nrimo, pasrah terhadap suami—namun di sisi lainnya mampu memilah diri dan perasaannya (sementara "pemilahan" adalah sebuah atribut yang lebih sering dikaitkan dengan laki-laki ketimbang perempuan). Inilah seorang perempuan yang dua kali modern sebab ia tak hanya memilih; ia juga hidup sesuai pilihannya—paling tidak di atas kertas—nyaris tanpa penyesalan.

Lagi-lagi, kita tak akan pernah tahu seberapa banyak dari diri sejati Dini yang ia tak ingin ungkapkan, atau seberapa banyak dari upayanya membangun citra telah menjadi korban dari paradoks genre yang dipilihnya—otofiksi, dengan kemampuannya memberdayakan sekaligus meruntuhkan sang subyek. Atau, mungkin juga semua inkonsistensi itulah poinnya: kita ada, maka kita membenci dan mencintai sekaligus.

Maka kita menemukan Dini yang penuh kontradiksi. Untuk setiap Dini yang dikuasai amarah, kita menemukan Dini yang penuh pengertian: ia membenci suaminya dan menganggap segala detail intim kebencian itu layak diceritakan kepada khalayak, namun ketika ia harus memberitahu kekasihnya tentang kehamilannya, ia ragu. "Dalam istilah Jawa ada perkataan dora sembadha (atau berbohong demi kebaikan bersama/suasana pada umumnya)," tulis Dini. "Aku tidak ingin mempermalukan lelaki yang kunikahi." Untuk setiap Dini yang lebih mementingkan harga diri dan kebahagiaan ketimbang materi—"Aku harus menyikapi semua ini dengan sederhana, karena bagaimanapun juga, aku tidak ingin membebani Kaptenku."; "Aku tidak ingin menekan atau mempengaruhi keputusan tersebut, karena aku tetap tidak hendak membebani dirinya, baik moral ataupun material."—kita menemukan Dini yang tak menutup-nutupi kegirangannya atas kado pemberian sang kapten: "Sejak kami bersama, setiap kali bertemu, dia tidak pernah lupa nyangoni aku dengan sejumlah uang. Hadiah-hadiah lain dari dia juga tidak terhitung banyaknya." Dan untuk setiap Dini yang bertahan hidup dengan suaminya karena ia tergantung secara finansial kepadanya, terutama dalam menafkahi anak-anak mereka (dan oleh sebab itu ia amat tersentuh oleh ajakan sang kekasih untuk hidup bersamanya dan mengadopsi si jabang bayi), kita menemukan Dini yang bersyukur sekaligus menarik diri, dengan cara yang sangat "Jawa": "Ajakannya untuk tinggal bersama dia, apalagi maksud mengangkat anak-anakku di bawah asuhannya bukanlah hal sepele bagiku. Meskipun itu hanya berupa angan-angan, belum tentu akan terlaksana, namun hatiku seolah-olah mengembang berlipat ganda besarnya oleh rasa bahagia."

Pada titik ini, saya ingin mengatakan bahwa kebebasan untuk konsisten dan bersikap tak ambivalen, sesuatu yang lebih mudah dicapai oleh Pada Sebuah Kapal, karya fiksi yang berkisah tentang sejumlah perempuan yang menderita di tangan kaum laki-laki, ketimbang oleh Seri Cerita Kenangan, adalah salah satu perbedaan utama antara otofiksi dan otobiografi.

Sebuah narasi orang ketiga, berbeda dengan narasi orang pertama, dengan sendirinya mampu menciptakan ilusi bahwa cerita itu sedang berlangsung sekarang, saat ini. Sementara, kisah seorang narator orang pertama, tidak bisa tidak, harus mengenai masa lalu. Bercerita adalah menceritakan kembali. Dan pada saat itu—pada momen-momen etis itu—terbukalah kemungkinan keliru. Keliru karena satu atau lain hal: ingatan yang khilaf, jarak yang meniadakan antara masa lalu dan masa kini, jiwa manusia yang tak terbaca, keterbatasan bahasa, ambisi hebat untuk menyelamatkan sebuah kebenaran sehingga segala laku mengingat, betapapun labilnya, menjadi tujuan itu sendiri.

Saya tak serta-merta mengatakan bahwa seri kenangan Dini telah memperdayai kita, secara sengaja atau tidak, untuk hanya melihat apa yang ia ingin kita lihat. Namun, kebencian terhadap laki-laki begitu menguasai dirinya hingga terkadang kita menemuinya terpaku penuh pada segala apa yang terjadi padanya seputar kebencian itu. Saat mengarungi masa-masa itu, ia seolah tak lagi melihat dunia di luar dunianya sendiri, apalagi kampung halamannya (kecuali apa yang terlihat di permukaan). Ia seolah tak menyadari apa yang terjadi pada Indonesia di tahun-tahun peralihan itu—tahun '60-an yang penuh gejolak sosial dan politik, tahun '70-an yang meradang, tahun '80-an yang sarat kekecewaan, tahun '90-an yang berujung pada ledakan sosio-budaya—atau sengaja berpaling darinya.

Atau, barangkali, jika kita memakai tafsir yang lebih murah hati, Dini memilih yang lain.

Sahabat saya, seorang penulis dengan dunia interior yang bernas, pernah mengatakan, adalah pilihan yang membelenggu, dan bukan hidup itu sendiri. "Apapun rupa dan tata karma kehidupan formal kita," katanya, "termasuk tempat tinggal, cicilan rumah, keluarga dan orang-orang lain yang kita cintai, kita harus tetap merawat sebuah ruang yang tak memasung, apakah itu kepala yang dipenuhi buku, kerinduan pada sebuah kota, sebuah kegilaan yang tak kasatmata, demi apa yang bisa tapi tak terjadi (versi Arcadia) atau apa yang masih mungkin terjadi (versi Utopia). Jelas bahwa bagi Nh. Dini, pahlawan, subyek dan pusat, "ruang yang tak memasung" itu adalah wilayah pribadi yang telah ia bangun untuk dirinya sendiri, Prancis dan sang kapten. Hidupnya adalah sesuatu yang hanya bisa diimpikan oleh kebanyakan fiksi.