Kisah Mukaburung

Laksmi Pamuntjak

Artwork by Louise Bassou

Untuk Amarzan Loebis

Pakis haji tak terus-menerus merimbunkan diri; sesekali, anak- anak daunnya yang tersusun berpasangan, betina dan jantan, tumbuh sekejap dalam satu malam. Esok paginya, mereka ada, begitu saja, laksana sihir.

Orang Buru telah hidup dengan keajaiban ini selama ber- abad-abad.

Mereka juga tahu bahwa pada hari-hari tertentu, tumbuh- an yang nama menterengnya Metroxylon sagu ini sanggup meng- hasilkan antara 15 sampai 25 meter kanji per hektar, pada akhir setiap siklus delapan tahun. Mereka tahu bahwa tak ubahnya istri yang baik, atau makanan pokok yang terpercaya, pakis haji tak perlu ditimang dan disayang-sayang setiap hari karena ia bisa tumbuh subur di mana saja selama ada sinar matahari.

Sesungguhnya, pertanian tak ada artinya sama sekali bagi orang Buru. Sebab mereka bisa makan apa saja, kapan saja, di mana saja. Segala sesuatu bisa menjadi makanan. Andai me- reka hidup di Ambon di tahun 2000-an dan mengerti bahasa Inggris, mereka akan tertawa tergelak-gelak melihat frasa happy meals di McDonald’s Manise Square. Sebab merekalah fast food people sesungguhnya: pelopor makanan murah, pra-saji dan siap hidang.

Tapi sekarang, mereka punya masalah yang lebih pelik. Pemerintah daerah baru saja mengumumkan bahwa sebentar lagi akan ada orang-orang asing yang datang ke pulau mereka. Hati-hati, kata para pejabat kantor kecamatan di Namlea, orang- orang asing ini lain dari lain.

Mereka takkan menetap di sepanjang pesisir tapi akan langsung merangsek ke pedalaman, ke wilayah pemukiman orang-orang gunung, orang-orang alifuru. Mereka takkan meng- indahkan struktur adat seged yang telah dibangun susah payah untuk menghubungkan daerah pesisir dan daerah pedalaman. Mereka takkan membuyarkan batasan nitopuro dan noropa, soa asli dan soa pendatang, dengan tulah dan bahasa mereka yang aneh. Mereka tak hanya akan menyantap pakis hajimu dengan rakus tapi juga akan menebas hutan dan padangmu, hawa dan gelan lalen-mu, kemudian melapisinya dengan semen.

Bayangkan: 12.000 mereka melawan 7.000 kalian. Jangan salah: mereka datang dari Jawa tapi mereka bukan Tasijawa se- bagaimana masyarakat pendatang yang kaukenal, yang menapasi wilayah noropa sebagaimana yang kauketahui. 12.000 mereka akan mencemarkan lingkungan Danau Rana dan Danau Date yang keramat sebab di sanalah kabarnya mereka akan ramai- ramai bermukim. 12.000 mereka yang tak diinginkan, apalagi dirindukan di tempat asal mereka. Orang-orang buangan.

Tetapi orang Buru pada dasarnya patuh, maka mereka pun mulai bersiap-siap untuk kedatangan orang-orang asing itu. Mereka menanti dengan sabar sampai gelombang pertama merapat di Pantai Namlea, lalu membuntuti orang-orang asing itu dari kejauhan. Mereka mengulang hal yang sama dengan ge- lombang kedua dan ketiga, dan mengamati bagaimana orang- orang asing itu menata hidup mereka di sebuah kawasan sekitar Lembah Waeapo tanpa sekalipun memunculkan diri di hadapan mereka.

Enam bulan setelah gelombang ketiga tiba dan menetap, sekelompok kecil penduduk asli mulai memberanikan diri ma- suk ke “rumah” pendatang. Kaget juga mereka melihat betapa besarnya “rumah-rumah” itu dan begitu banyaknya—rata-rata lima puluh—orang asing yang hidup di bawah satu atap.

“Untung bangunannya kokoh,” kata salah satu dari para pendatang itu, dalam bahasa Ambon. Ia menunjuk ke arah atap, tiang, dan dinding.

“Tentu saja,” kata anak kepala soa, yang fasih berbahasa Ambon. “Itu sagu kami. Sagu andalan.”

Ia sengaja berhenti, seolah untuk menciptakan efek. Lalu melanjutkan, “Sagu itu seperti keluarga yang menopang, melin- dungi, dan memberi makan. Bisakah kalian mengatakan yang sama tentang makanan aneh yang kalian bawa dari jauh?”

Agaknya sang pendatang terpancing juga. “Yang kami bawa bukan sembarang bahan pangan,” sahutnya dengan nada lebih tegas. “Bukan cuma terong dan buncis, bayam dan kang- kung, tapi juga buah-buahan yang kami yakini akan membawa banyak kebahagiaan. Kami juga membawa padi yang pucuknya berkilau bagaikan permata pada pagi-pagi cerah, dan yang rasa- nya bagaikan saripati kehidupan dan masa depan.”

“Tapi buat apa kalian begitu terpaku pada masa depan?” tanya anak kepala soa. “Kalian terus-terusan bicara tentang ta- bungan dan penyimpanan, tentang doa dan harapan. Bagi kami hidup lebih sederhana. Kami menanam, kami memanen, kami menyiangi, kami makan, kami berak, kami tumbuhkan kem- bali apa yang telah kami kembalikan ke tanah. Itulah yang kami tahu. Sagu membantu kami melakukan itu. Sagu selalu ada, baik saat kami butuh maupun tidak. Setiap hari, setiap tahun, selalu.”

Begitulah awal perkenalan orang Buru dan orang-orang asing itu.

 

*

Dalam minggu-minggu dan bulan-bulan berikutnya, para pen- duduk asli tetap mempelajari cara hidup para pendatang, meski mereka tak selalu memahami apa yang mereka saksikan.

Mereka memperhatikan, misalnya, bagaimana orang-orang asing itu diberi 150 gram beras per hari dan ikan asin oleh orang- orang yang wajahnya mirip para pendatang itu, tapi tak hentinya membentak-bentak mereka. Tak jarang pula mereka dipukuli sampai babak belur. Para penduduk asli tak paham cara meng- ukur berat dalam hitungan gram dan mengukur waktu dalam hi- tungan bulan, tapi setelah mengamati begitu lama, akhirnya me- reka tahu nama dan makna sejumlah benda: bahwa sesuatu yang tampak seperti beras yang beralih warna adalah bulgur, misalnya, dan bahwa yang disebut ikan asin itu sesungguhnya lebih pahit ketimbang asin. Kadang mereka kasihan pada orang-orang asing itu dan ingin menyelamatkan mereka dari kebodohan mereka yang keterlaluan.

Sayangnya orang-orang asing itu begitu gemar merambah. Mereka asal masuk ke kebun, ke hutan berburu, ke tempat me- mancing, kemana saja yang bukan milik mereka seenak jidat. Jadi bukan salah penduduk asli kalau mereka sesekali merasa per- lu merobek perut orang-orang asing itu dengan pisau dan mem- buang mayat mereka ke sungai.

Lelaki tolol dari seberang sungai itu, contohnya. Apa ge- rangan yang ada dalam benaknya, ketika ia menyusup tengah malam ke rumah Manakati sekitar dua minggu lalu? Mengapa ia berjingkat-jingkat seperti maling dan meraih tampah di sebilah papan di bawah atap? Apakah ia mengira tampah itu berisi da- ging rusa karena begitu rupa disembunyikan sang empunya ru- mah seperti layaknya barang berharga? Lebih gila lagi, mengapa ia lalu membawa lari barang itu?

Belakangan diketahui bahwa lelaki tolol itu mengira da- ging di tampah itu adalah daging rusa, sebab ia melihat keluarga Manakati membantai seekor rusa malam sebelumnya. Tapi bu- kan itu yang membuatnya tolol di mata penduduk asli. Pendu- duk asli menganggapnya tolol karena selama itu ia tak ngeh keluarga Manakati telah menguntitnya dari awal. Ia tak ngeh mereka sudah tahu dari awal bahwa ia akan mencoba mencuri makanan, sebagaimana mereka tahu cara terbaik mengumpan rusa dan babi hutan yang kelaparan, yaitu dengan membakar ba- gian-bagian tertentu sabana sehari menjelang musim hujan dan menunggu sampai hewan-hewan itu keluar dari tempat persem- bunyian untuk menghidu rumput yang bermekaran di bawah curah hujan.

Begitulah mereka menunggu sampai lelaki tolol itu kem- bali malam berikutnya. Mereka melihatnya melesat ke dalam kegelapan malam dengan dada membengkak bangga (sebab ia kira ia telah berhasil mencuri daging rusa dari rumah penguasa, untuk kedua kalinya pula). Begitu bangganya ia sehingga ia sem- pat berhenti di tengah padang alang-alang dan bersenandung kepada bulan sebagai tanda terima kasih. Lalu ia duduk menepi di bawah pohon dan mulai menyantap hasil jarahannya dengan rakus.

Belakangan, ketika lelaki tolol itu akhirnya menyadari bahwa yang ia santap bukan jantung rusa melainkan plasenta bayi Mukabelen yang mati dalam kandungan, terlambat sudah  (meski ia tak sebegitu tololnya untuk tahu bahwa sebentar lagi ia akan mati). Paling tidak, ketika tombak itu menembus dadanya, ia meregang nyawa jauh lebih cepat dibanding jumlah langkah yang ia perlukan untuk lari kembali ke barak. Atau waktu yang ia butuhkan untuk mengetahui bahwa Mukabelen adalah anak perempuan Hinolong dari soa Baman, penguasa tertinggi di ne- geri ini setelah Raja Kayeli. Bahkan petinggi-petinggi Jakarta pun tak berkutik di hadapannya. Pendek kata, kalau tetap ingin hidup, jangan mencuri dari orang-orang seperti mereka.

Jelas kiranya, pelajaran terpenting yang bisa dipetik dari kejadian ini: jangan takabur dan malas belajar sejarah lokal.

Untungnya bagi orang-orang asing ini, ketololan mereka tak selalu membuat mereka kehilangan nyawa. Kadang, keto- lolan itu malah bisa menyelamatkan mereka (meski tak jarang mengorbankan orang lain).

Mukaburung, adik Mukabelen, punya cerita.

 

*

Dari semua pengetahuan orang-orang Buru tentang orang-orang asing itu, ada satu yang menonjol: orang-orang asing itu selalu kelaparan.

Mukaburung menyadari hal itu ketika ia pertama kali melihat Sentanu menebang pohon sagu di neten embalit milik keluarga besar Mukaburung. Mungkin itulah yang menyebab- kannya mengurungkan niat untuk membunuh lelaki tolol itu, bahkan memutuskan untuk menyukainya—lelaki tolol dari ne- geri seberang yang tak bisa menahan diri untuk tak mencuri sagu orang dan tak menyadari bahwa ia sedang mempercepat ajalnya sendiri.

Biasanya Mukaburung tak akan membuang waktu dan tenaga memikirkan nasib orang-orang seperti Sentanu. Ia akan langsung mengambil posisi, membidik, dan menombak orang itu, selesai perkara. Namun akhir-akhir ini ia merasa ada sesuatu di dalam perutnya yang meranum dengan lembut, seperti pisang menjelang matang, sedikit lunak dan sedikit rentan terutama di bagian tengah. Maka ia biarkan saja Sentanu memerkosa dan merenggut tanahnya. Empat hari ia mengamati lelaki itu dari balik pohon tanpa melakukan apa-apa.

Pada suatu malam, Mukaburung memutuskan sudah sa- atnya untuk menampakkan diri. Ia menyukai rupa hutan pada jam-jam tersebut, koin lalen, serupa kaki-tangan; dahan dan batangnya kokoh dan berbonggol, bagaikan aksara yang lebih mengenali dirinya ketimbang penorehnya.

Sekilas, udara terasa memberat.

Saat itulah Sentanu berpaling ke arahnya dengan muka memucat. Mukaburung tiba-tiba merasakan getar aneh pada rahimnya.

“Kumohon, jangan bunuh aku,” bisik Sentanu. Meski ia tahu tak ada gunanya. Mereka tak bicara bahasa yang sama.

Tak disangka, Mukaburung menunjuk pisau lipat di sa- rung pinggang Sentanu. Jantung Sentanu sempat berhenti ber- detak. Sentanu tahu, pisau itu pisau kodian, bisa dibeli di mana saja di Jawa, paling banter Rp25.000,-. Di sini ia tahu benda itu tak ada artinya dibanding senjata-senjata yang dibawa orang asli. Ia sama sekali tidak siap mental untuk bertarung nyawa. Jangan sekarang, Ya Allah, ketika laparku belum lagi terpuaskan dan aku belum sempat bersurat pada orangtuaku di kampung. Tapi ia lebih tidak siap lagi untuk mati oleh pisaunya sendiri.

Selagi Sentanu sibuk memikirkan kata-kata apa yang harus diucapkannya pada perempuan itu sebelum mati, Mukaburung meloncat dan mendarat telak di dadanya. Lalu, dengan kedua dengkulnya ia menekan dada Sentanu keras-keras sebelum me- raih dan mencabut belati brengsek itu dari sarungnya. Seketika Sentanu menengadah ke atas, ke arah bulan sepucat kapur, dan mengucap tabik pada dunia.

Sembari menunggu ajal, ia seperti melihat montase dari dalam kereta api yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi. Lucu juga, rasa sakit yang ia nantikan bukannya menghunjam dan merobek, melainkan melingkupinya perlahan-lahan, dalam lembap yang aneh tapi hangat.

Setengah nanar, ia ikuti saja ketukan yang bagaikan detak menjelang ajal: angkat, celup, angkat, celup, sambil menunggu tarikan napas terakhir itu. Ia merasa seperti terombang-ambing antara hidup dan mati, dan pada suatu titik ia merasa dirinya terapung di tengah laut, di kejauhan; dari sana ia seolah melihat kerlip lampu di teras rumah orangtuanya di pantai dan teringat titik-titik peluh di tengkuk ibunya ketika perempuan itu sedang sembahyang.

Sentanu berasal dari keluarga miskin tapi terhormat sebab mereka pekerja keras yang tidak pernah mengeluh apalagi mera- tapi nasib. Mereka juga tidak meratap ketika suatu hari Bapak tidak pulang ke rumah karena laut telah menelannya diam-diam seperti pacar yang cemburu. Mereka terus bekerja keras meski yang tersisa bagi mereka hanyalah tengik ikan tiga hari yang ha- rus tetap mereka santap sebab laut sedang merajuk dan hanya itulah satu-satunya makanan yang tersedia. Tengik itulah yang membuat bulu tengkuknya berdiri, tak banyak berbeda dari bau yang sedang ia hidu saat itu, semakin pekat dan semakin akrab dengan setiap desakan, dengan setiap angkat dan celup, naik dan turun.

Ia nantikan rasa sakit itu. Cabutlah nyawaku sekarang, ya Tuhan. Aku siap.

Tapi rasa sakit itu tak kunjung datang. Akhirnya, setelah memberanikan diri membuka mata, ia melihat pisaunya te- ronggok di tanah. Sejenak ia tak tahu benda apa yang sedang ia tatapi. Tak lama kemudian ia tersentak—Mukaburung tak pernah bermaksud menyakitinya; perempuan itu hanya ingin menyingkirkan pisau itu dari pinggangnya agar bisa lebih leluasa menguasainya. Bagaimanapun juga, Sentanu dua kali lebih besar dari perempuan itu.

Tiba-tiba Sentanu merasa matanya pedas. Sejurus kemudi- an, di tengah perpaduan isak tangis dan rasa nikmat yang aneh, ia mencium bau busuk lain, bau yang tak ia kenali, yang seakan timbul dari bawah kulit perempuan itu dan pecah begitu ber- sentuhan dengan udara—bau busuk yang kian pekat setiap kali Mukaburung mencengkeram dan memasukkan zakarnya yang keras ke dalam liangnya. Entah kenapa, bau itu justru membuat Sentanu kian bernafsu, dan sejurus kemudian membuat air ma- ninya menyembur ke semua penjuru.

 

*

Demikianlah ritus itu terbentuk, dan Sentanu serta Mukaburung bertemu hampir setiap hari untuk mengukuhkannya.

Awalnya, Mukaburung menuntut, Sentanu menurut. Ada sesuatu dalam setiap tahap ritus itu yang membuat Sentanu me- rasa terbebaskan sekaligus menemukan kembali dirinya yang te- lah lama hilang.

Tahap pertama: memilih tempat sanggama. Biasanya di ba- wah pohon. Sebelum membawa Sentanu ke sana, Mukaburung telah mengumpulkan sebanyak mungkin ranting untuk ditata di peraduan mereka. Ketika ia yakin mereka benar-benar sendiri- an, ia akan mulai berlari mengitari pohon, dan tak lama setelah itu, Sentanu akan mulai mengejarnya. Semakin lama semakin cepat. Begitulah ritus mereka, setiap putaran semakin pesat, se- makin bersemangat, sampai Mukaburung mendadak berhenti dan merangkul pohon dengan segenap tubuhnya. Pada saat itu- lah Sentanu akan memasukinya dengan segenap kekuatan, dari belakang.

Pada tahap kedua, Sentanu mulai menuntut, Mukaburung menurut.

Ketika Sentanu sudah mulai terbiasa dengan ritus mereka, barulah ia pelan-pelan menyadari: bagian yang paling ia sukai adalah fakta bahwa ia bisa keluar begitu cepat tapi tak sekali- pun merasa bersalah terhadap Mukaburung. Ia tak tahu apa yang berubah pada dirinya, mengapa tadinya ia tak peduli berlama- lama dengan perempuan itu tapi sekarang malah sebaliknya. Ia menginginkan sekaligus menolak perempuan itu. Ia merindukan persanggamaan mereka setiap hari, meski semakin lama sema- kin terusik oleh wajah perempuan asli itu, yang pada saat-saat tertentu bisa terlihat begitu mengerikan. Juga oleh bau badan- nya—bau yang seakan mengambang di bawah kulit, mendesak, seperti sudah lama terperangkap dan tak tahan ingin keluar. Pe- rempuan itu seperti setengah manusia, setengah hewan melata. Seperti penderita kusta yang tak kenal air maupun sabun, tapi yang entah mengapa membuatnya hampir gila dilanda berahi.

Beberapa minggu kemudian, ia tak lagi ingin bertemu perempuan itu. Apa yang tadinya melecutkan bara nafsu, kini menjelma menjadi rasa jijik yang sulit ia jelaskan. Ia hanya ingin memasukkan kemaluannya ke dalam Mukaburung, itu saja.

Tak lama kemudian, ia berhenti menemui perempuan itu dan tak lagi mencari sagu di hutan keluarganya.

 

*

Seminggu berlalu. Sentanu tetap tak berusaha mencari Muka- burung meski ia mulai sering bermimpi tentang bokong perem- puan itu, atau raungnya ketika mereka bersetubuh, atau matanya yang berbinar-binar setiap kali mereka bersentuhan.

Pada suatu petang, ketika ia sedang berbaring di ranjang- nya di barak, di tengah peluh, bau badan, dan bau mulut se- sama tapol, tiba-tiba saja ia rindu luar biasa pada Mukaburung. Pada tubuh asingnya yang biar bagaimanapun selalu siap sedia untuknya.

Sementara itu, Mukaburung berhari-hari mencari Sentanu ke segenap penjuru hutan seperti anjing kehilangan majikan. Suatu hari ia malah memberanikan diri datang ke barak, lalu menunggu sampai laki-laki itu keluar. Tak seperti Sentanu yang hanya sekali-kali rindu padanya, ia selalu rindu pada Sentanu.

Ia selalu rindu wajah lelaki itu, terutama raut mukanya ketika Sentanu sedang menyetubuhinya. Ia rindu aromanya— aroma kayu dan perdu, tanah dan tembakau. Ia rindu bagaimana pada awalnya, sebelum ia mengajarkan ritus pohon padanya, le- laki itu harus berupaya mendapatkannya, bermain-main dulu, memijit-mijit, kadang mengecup dan menggeranyanginya sam- pai kepalanya ingin pecah. Ia rindu cara lelaki itu harus merayu dan mengembik-embik dulu sebelum Mukaburung akhirnya menyelubunginya dalam lembap farjinya.

Ia rindu melihat mata lelaki itu terkatup setiap kali mereka berbagi kehangatan, seakan ia merasa begitu puas dan begitu terpenuhi. Ia rindu melihat Sentanu menanggalkan celana dulu untuk bisa merasakan kenikmatan bersetubuh dengannya, buk- ti bahwa ia tak butuh langsung memuaskan berahi dan bahkan tak keberatan untuk berusaha. Ia rindu menatap wajah Sentanu lekat-lekat setelah mereka bersanggama, wajahnya yang cokelat dan asing, seperti buah aneh yang ia bawa dari Jawa.

Ia rindu melihat lelaki itu membubuhkan tembakau pada secarik kertas lalu melintingnya dengan hati-hati, sebagaimana ia melinting tubuh Mukaburung—seperti sesuatu yang berharga. Ia rindu melihat lelaki itu memungut rokok yang belum jadi itu dengan kedua tangannya, dua jemari pada ujung yang jauh dan ibu jari pada ujung terdekat, lalu merampatkan tembakau ke dalam silinder sebelum melinting kertas pembungkus sam- pai menjelma sesuatu yang bisa diisap dan diembuskan. Ia rin- du melihat Sentanu duduk bergeming setelah isapan pertama, pandangannya menerawang lama, entah ke mana, sampai lelaki itu merasa tergerak untuk balik menatap Mukaburung dengan sesungging senyum.

Kelak, Mukaburung menyadari bahwa hampir semua orang asing itu memiliki kemampuan serupa, seolah pada paras mereka ada jaringan otot yang terlatih untuk memancarkan syu- kur dan terima kasih pada saat-saat tertentu.

Tapi Sentanu tetap saja berbeda dari semua laki-laki lain yang ia kenal. Sentanu tak pernah hengkang cepat-cepat, seperti suaminya, Manahonja, yang suka membanting-bantingnya se- olah ia anjing, atau cicak, meski ada saatnya Sentanu suka tam- pak enggan menatap matanya. Mungkin itu gunanya rokok— membuat orang menjadi lambat.

Kadang, Sentanu malah seperti ingin bercerita. Beberapa kali, misalnya, ia menunjuk ke arah tempat tinggalnya bersama orang-orang asing lain di balik pagar besi dua meter yang dijaga segerombolan lelaki berbaju hijau loreng. Sorot matanya melem- but, seolah ia ingin mengatakan, tempat itu tak seburuk yang kausangka. Tempat itu penuh orang-orang seperti aku.

Mukaburung akan bertanya, dalam bahasanya sendiri, “Tapi bukannya mereka memukulimu di sana?” (Sambil berta- nya, ia memukuli tubuhnya sendiri sebagai contoh.)

“Kita bisa dipukuli di mana saja,” jawab Sentanu sambil menunjuk langit, pohon, dan gunung di kejauhan, kedua le- ngannya merangkul udara. “Apa bedanya di sini dan di sana?”

Mukaburung tak menjawab meski ada sesuatu dalam di- rinya yang paham. Ia pernah menyaksikan cara Sentanu bertu- kar rokok dengan sekelompok laki-laki berbaju hijau loreng itu. Tindak-tanduk mereka tak selalu tak bersahabat. Ia juga pernah melihat mereka berbagi beras yang disimpan Sentanu di tempat persembunyian nun jauh di jantung hutan. Meski mereka acap menghardik dan menohok bokong Sentanu dan kawan-kawan- nya dengan ujung laras senapan, ia bisa melihat adanya sema- cam ketergantungan antara mereka. Sebab nyatanya bukankah Sentanu dan kawan-kawannya lah yang pergi berburu, mema- sak, lalu menyimpan semua yang dibutuhkan para laki-laki ber- baju hijau loreng itu?

Mukaburung merasa ada sesuatu dalam dirinya yang pa- ham, meski ia tak selalu paham perilaku orang-orang asing itu pada umumnya. Ia takkan pernah mengerti obsesi mereka; ter- hadap bulir-bulir biru-putih-keabuan aneh yang mereka nama- kan beras, misalnya. Padahal humalolin mereka sudah begitu bernas dengan bahan pangan dari tempat asal mereka—jagung, singkong, kedelai, dan entah tumbuh-tumbuhan aneh apa lagi. Tapi Mukaburung paham makna ketergantungan. Perasaannya terhadap Sentanu tak butuh pemahaman. Ia ingin selalu bersama lelaki itu.

Maka, beberapa hari sebelum Sentanu mendadak menghi- lang, Mukaburung mulai melantunkan cintanya setiap kali me- reka selesai bersetubuh. Ia tak ingin Sentanu pergi dan kembali ke barak busuk itu. Kadang ia menyanyikan perasaannya tengah malam, melolong-lolong bagai burung kesakitan dan memba- ngunkan seisi hutan. Kelak ia akan menggunakan perasaan ini sebagai alasan untuk memohon-mohon agar teman-temannya sesuku mengampuni Sentanu atas kelancangan lelaki itu keto- keto dengannya. Bagaimanapun, Mukaburung adalah menantu Hinolong yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui. Ia telah memberiku kenikmatan. Bukankah itu sesuatu yang indah?

Tapi ia tak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan itu dengan bahasa; bahkan bahasanya sendiri.

Apalagi kepada suaminya, Manahonja.

Masalahnya, Manahonja orang pertama yang curiga meli- hat perubahan pada diri istrinya. Mengapa paras Mukaburung tiba-tiba berseri-seri tak seperti biasa? Mengapa suaranya tiba- tiba berubah? Beberapa kali ia merasa telah mendengar lolongan istrinya dari tengah hutan meski ia tak yakin benar apa yang didengarnya.

Maka suatu malam Manahonja dan sejumlah orang soa memutuskan untuk membuntuti Mukaburung. Begitu duduk perkaranya menjadi jelas, Manahonja menggelandang Sentanu ke tengah desa, mengikat lelaki itu ke sebatang pohon, lalu menghajarnya sampai bonyok.

Ketika tiba saatnya untuk menjatuhkan hukuman pada Sentanu, Manahonja sempat berpikir, kusuruh saja bangsat ini bayar denda sebelum kusembelih dia di hadapan semua pendu- duk soa. Bukan saja ia telah mempermalukanku, ia juga telah mencuri saguku selama berbulan-bulan. Lagi pula, aku juga ha- rus jaga gengsi di hadapan istri dan bapak mertuaku. Aku tak boleh terlihat lemah. Setelah aku menghabisi si Muka Jawa, akan kubunuh perempuan sundal itu dan kubuang mayatnya di Wai Apo.

Dengan pikiran itu, ia membentak Sentanu sambil meng- ayun-ayunkan parang, “Apa pun yang kamu punya, kamu harus serahkan padaku.”

“Aku tak punya apa-apa,” Sentanu menyahut lemah. “Tapi kamu berani keto-keto dengan istriku.”

“Ya Allah. Maafkan aku.”

Kata “Allah” dan “Maaf” tak ada artinya bagi Manahonja, dan ia hampir saja menebas kepala Sentanu saat itu juga andai- kan Jajitama dan orang asing yang datang bersamanya tak menengahi.

Jajitama adalah mauweng di soa itu—kepala adat yang sa- ngat disegani. Orang asing bersamanya adalah salah satu koman- dan unit di Inrehab Buru, lelaki tegap besar dengan rahang kotak dan raut muka nyaris tanpa ekspresi. Akhir-akhir ini lelaki itu sering bertandang di rumah Jajitama, dan sering menemani para tetua adat dalam pertemuan-pertemuan tertutup mereka. Semua orang segan padanya. Meski Manahonja tak percaya pada lelaki itu (atau lelaki asing mana pun), ia harus memastikan Jajitama ada di pihaknya.

Brengsek, pikirnya. Semenjak orang-orang asing ini datang ke Buru, segala nilai dan adat yang ia kenal seakan dijungkir- balikkan. Istri-istri mencari kesenangan di pelukan laki-laki asing, sementara orang-orang yang menjaga dan kadang meng- hajar para laki-laki asing itu justru menasihati suami-suami ten- tang politik keto-keto tanpa diminta.

“Bagaimana kalau kubunuh saja dia sekarang,” ia berbisik pada Jajitama agar si komandan militer itu tak mendengarnya. Tapi Jajitama menggeleng.

“Tidak bisa. Mereka tidak melakukan perselingkuhan di dalam rumah.”

“Tapi...”

“Jangan pura-pura bodoh, Manahonja. Kau lihat dengan mata kepala sendiri—kau dan setidaknya dua lusin saksi—bahwa mereka tak melakukan perselingkuhan dalam rumah.”

“Dan itu berarti mereka tak melakukan perselingkuhan?” “Memang sudah begitu peraturannya. Kau tahu itu.” “Tapi di mana letak keadilannya?”

“Jangan pikir yang rumit-rumit. Kita pikirkan yang mudah-mudah saja, soal denda misalnya.”

“Tapi Mukaburung istriku! Masa aku tak dapat kesempatan membela kehormatannya?”
“Faktanya tidak berubah. Mereka tidak melakukannya dalam rumah.”

“Akan kubunuh dia! Dan Mukaburung juga, si pelacur itu!”

“Jangan naif, Manahonja. Kalau kau membunuh Sentanu, kau mengobarkan perang antara kita dan mereka. Mereka tak- kan membiarkan kita membunuh salah satu dari mereka. Kita akan diserang dan dihabisi. Jumlah mereka lebih banyak dari kita. Kalau kau lebih sabar dan lebih punya perhitungan, kau bisa melakukan apa yang dilakukan Manakati pada orang asing yang melahap plasenta bayinya beberapa bulan lalu, misalnya. Kau dengar bagaimana dia menggorok leher si goblok itu diam- diam, suatu malam, dan membuang mayatnya ke sungai. Selesai. Saat ini kau masih beruntung kalau kau dapat uang barang sepe- ser dan istrimu masih mau keto-keto sama kau.”

Jajitama sudah tua. Konon usianya telah melebihi satu abad. Satu hal pasti yang telah ia pelajari tentang kehidupan adalah bahwa segala sesuatu yang indrawi dan manusia anggap penting, pada akhirnya tak pernah kekal. Segala sesuatu itu akan pudar, kadang raib begitu saja seolah tak pernah ada, sebagaimana ia tak lagi ingat tubuh istrinya yang telah mendahuluinya: baik baunya, rasanya, tekstur, maupun lekuk tubuhnya.

Jajitama juga telah mendidik dirinya untuk selalu ingat bahwa denda yang belum dibayar adalah pemicu konflik nomor satu di Buru. Ketika orang-orang dari Ternate, Madura, Kolam- susu (Buton), dan Tasijawa (Jawa) mulai bermukim di Buru— orang-orang yang tahu bagaimana berdagang dan berdiplo- masi—untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa ada hal-hal di dunia ini yang hanya bisa dipelajari dari orang asing. Andai saja Manahonja bisa bersabar dan menunggu sampai istrinya melenceng sepenuhnya seperti umumnya perempuan, mereka tentu tak perlu repot-repot berurusan dengan para komandan barak, yang mau-tak mau akan membalas dendam apabila salah satu warganya disakiti orang luar. Tapi Manahonja masih muda. Orang muda tak berpikir dengan otak mereka.

Akhirnya, penduduk soa sepakat untuk mengabaikan utang Sentanu dengan satu syarat. Ia tak akan pernah lagi meng- injakkan kaki di wilayah mereka. Jika ia melanggar peraturan itu, ia akan dibantai ramai-ramai. Setuju, sorak para komandan di barak. Sambil tertawa-tawa mereka berjanji akan mengawasi Sentanu seolah ia anak perempuan mereka yang masih belia. Para tapol ini seperti monyet, mereka mudah dikendalikan, kata mereka. Tapi sebagai imbalannya, kau harus undang kami ke se- mua pertemuan adat soa.

Meski Jajitama tahu banyak orang masih tak paham arti tapol dan peraturan apa sesungguhnya yang telah mereka lang- gar sehingga mereka harus diasingkan ke pulau ini, ia juga tahu bahwa semakin sedikit pertanyaan, hidup akan semakin mudah.

Demikianlah, Sentanu mendapatkan kebebasannya dan menjadi orang asing paling terkenal dan paling tak terjamah di Pulau Buru. Jika ia melanggar peraturan lagi, tak akan ada seorang pun penduduk asli yang berani melaporkannya. Sebab siapa yang rela mati konyol ditembus timah panas orang-orang asing bersenapan, demi orang tolol yang keto-keto dengan istri lelaki tak becus macam Manahonja?

 

*

Namun, pada akhirnya semua konflik membutuhkan korban. Dan Mukaburung telat menyadari hal itu.

 

*

Tiga hari kemudian Mukaburung diikat ke tiang pancang di la- pangan utama dan dihantami sampai bonyok oleh Manahonja, di hadapan segenap keluarga dan tetangganya. Tak seperti keka- sih gelapnya, ia diikat lebih lama dan dalam keadaan telanjang bulat.

Esoknya, ia digelandang ke rumah kosong dan dipaksa membuat tiga puluh tombak dan sebatang penis kayu dua kali lebih panjang daripada pahanya sendiri. Kemudian ia diseret ke luar rumah, tetap dalam keadaan telanjang bulat, dan dipaksa berjalan mengelilingi desa tujuh kali sambil menggotong hasil karyanya di atas pundaknya. Sepanjang perjalanan, ia menyum- pahi emangin yang membiarkannya hidup dan menderita. Ia ingin mati dan menjelma nituro bengis agar ia tak hanya bisa menghantui Manahonja tapi juga menggergaji penis lelaki itu sebelum menjejalkannya ke mulutnya yang kotor. Ia menangis melolong-lolong, untuk pertama kalinya, meskipun ia tak pa- ham apakah ia menangis karena sedih, marah, atau kesakitan.

Ketika Mukaburung akhirnya dibebaskan dari hukum- an, tak seorang pun menyapa atau menghampirinya kecuali Jajitama. “Maafkan aku karena tak bisa berbuat banyak,” kata lelaki tua itu. “Tapi kita tak hidup di dunia ini untuk bahagia.”

 

*

Kehidupan, sebagaimana Jajitama memahaminya, terus berja- lan. Setelah berbulan-bulan “bekerja sama” dengan komandan- komandan barak, orang tua itu menghimbau penduduk soa un- tuk mengubah cara mereka berinteraksi dengan sagu. “Begitu cukup tinggi, tebang,” ia berpetuah. “Tak perlu menunggu sam- pai pohon sagu tumbuh sampai dua belas meter.”

Tapi tak semua penduduk soa paham yang ia maksud. Se- kelumit debat di rumah kepala soa, suatu hari:

“Kita sebaiknya mendengarkan Jajitama. Petuahnya kan lebih sering menguntungkan kita. Sekarang kita tak harus me- nunggu-nunggu sampai Raja memberi kita delapan tomang se- belum kita berani melakukan apa-apa dengan hasil bumi kita.”

“Iya, tapi itu karena Raja kita memang tolol.” “Bukannya justru kita yang tolol?”

“Masa Raja kita tolol?”

“Memangnya Raja tidak bisa tolol?”

“Yang jelas, bukankah Raja juga akan beruntung kalau dia mendengarkan nasihat Jajitama? Bukankah Raja akan mendapat lebih banyak tomang dalam waktu jauh lebih singkat? Kenapa ia tak melihat itu sebagai keuntungan?”

“Memangnya aku bisa baca pikirannya?”

“Aku sudah pasti merasa diuntungkan. Dalam tiga minggu aku telah menebang lima pohon sagu. Itu artinya dua puluh lima tomang atau seratus delapan puluh tujuh setengah kilogram. Coba kalikan, satu kilo kali lima puluh ribu rupiah. Itu hamper satu juta rupiah hanya dalam tiga minggu. Itu lima kali lipat pendapatanku dalam enam bulan.”

“Belajar dari mana kau menghitung? Aku tak bisa menghi- tung seperti kamu.”

“Tapi, kalau begini terus, sebentar lagi kita akan kehabisan tomang, kan?”

“Peduli amat Raja kita bilang apa. Tidak masalah kalau kita harus berurusan setiap hari dengan orang-orang asing itu. Yang penting kita jadi kaya.”

“Berurusan dengan mereka memang bukan berarti kita ha- rus berteman dengan mereka.”

 

*

Dengan latar itulah, ketika sekat antara dunia dalam dan du- nia luar telah dirobohkan dan segala sesuatu berubah dan me- lebur—kawan dan lawan, orang asli dan pendatang, tapol dan komandan barak, yang dikuasai dan yang menguasai— Mukaburung diam-diam menembus malam tergelap dan me- ninggalkan soa tempat ia lahir dan tumbuh besar. Seperti biasa, ia tak punya bahasa untuk menggambarkan apa yang ia rasakan malam itu.

Ia juga tetap belum paham peraturan apa yang telah di- langgar Sentanu dan kawan-kawannya sebarak, sebagaimana ia tak mengerti peraturan apa yang telah ia langgar yang dianggap jauh lebih parah sampai-sampai suaminya tega menghajarnya di depan semua orang yang mengenalnya, dan membuatnya di- benci, diasingkan, dan dihukum sebegitu rupa.

Yang jelas ia telah terpental dari dunia baru ini. Kali ini tak ada yang akan menolongnya, atau menemuinya di hutan berkali-kali, dan membiarkannya menunggangi berahinya tanpa pertanyaan, tanpa tuntutan, tanpa penilaian, meski mereka tak bicara bahasa yang sama.

Ia heran mengapa sebelumnya ia tak pernah merasa ada perbedaan antara Kita dan Mereka, Asli dan Asing, Sagu dan Padi— kekuatan-kekuatan yang berdesakan untuk mengukuh- kan tempat mereka di bumi manusia ini. Kekuatan-kekuatan yang tak menyediakan tempat baginya.

Tiba-tiba Mukaburung dilanda kesedihan yang begitu luar biasa, lebih dahsyat ketimbang kesedihan yang ia rasakan ketika ia digelandang keliling desa tanpa busana, dengan telapak mele- puh di atas aspal hitam.

Seolah tak ada sesuatu dan seseorang pun di dunia yang pernah melanggar peraturan atau berbuat dosa sebelum dirinya.