Pasar Malam untuk Brojo

Dhianita Kusuma Pertiwi

Artwork by Simone Rein

Penantian Brojo

KARAKTER:

BROJO

AYAH BROJO

SARJONO

BABAK 1

(Panggung 1: sebuah ruang tamu sederhana. Sebuah meja kayu diletakkan di tengah ruangan, dan empat kursi kayu rotan ditata di sekeliling meja. Sebuah asbak, sebungkus rokok dan sebuah korek di atas meja.)

(AYAH BROJO dan BROJO tengah duduk di kursi ruang tamu, berhadapan. AYAH BROJO merokok sambil bersandar. BROJO masih berusia delapan tahun, kakinya dilipat di atas kursi.)

BROJO:  Pak, Ibu kemana?

AYAH BROJO:  Menginap di rumah bulikmu.

BROJO:  Kenapa tidak mengajakku?

AYAH BROJO:  Entah. Ibumu juga berangkat sendiri kesana. Mungkin ada suatu hal yang ingin dibicarakannya dengan bulikmu.

BROJO:  Sampai berapa hari dia disana?

AYAH BROJO:  Aku juga tidak tahu. Kau sudah rindu ya?

BROJO:  Iya. (manja) Bapak tidak pernah cerita kalau aku hendak tidur.

AYAH BROJO (terdiam):  Sudah, ayo kuantar ke kamar.

BROJO (berdiri):  Tidak apa-apa, aku akan langsung tidur.

(berjalan keluar)

AYAH BROJO

(duduk terdiam sambil merokok. Pandangannya kosong)

(Beberapa saat kemudian terdengar suara pintu diketuk.)

SARJONO (voiceover):  Mas. . .

AYAH BROJO:  Masuklah. Tidak kukunci pintunya.

(SARJONO masuk ke dalam ruangan, ia adalah adik ipar AYAH BROJO. Kemudian ia duduk berhadapan dengan ayah BROJO.)

SARJONO:  Bagaimana Mas, sudah ada kabar?

AYAH BROJO (menggeleng lemah):  Belum. Sudah dua malam dan aku tidak tahu istriku dibawa kemana.

SARJONO:  Sudah coba bertanya?

AYAH BROJO:  Mau bertanya ke siapa?

SARJONO:  Simon yang tentara itu pasti tahu dimana Mbak Sul sekarang.

AYAH BROJO:  Iya. Tapi Simon itu masih baru juga tinggal di sini, kita tidak tahu orang seperti apa dia. Akan semakin memperburuk keadaan kalau ternyata dia juga memiliki tugas yang sama seperti mereka.

SARJONO:  Sebenarnya apa yang mereka cari ya Mas?

AYAH BROJO:  Entahlah. Ibunya BROJO itu hanya anggota Gerwani biasa, tidak terlalu aktif juga ikut kumpul-kumpul.

SARJONO:  Saya jadi takut, Mas.

AYAH BROJO:  Yang penting jaga istri dan anakmu, dan bantu aku merawat BROJO. (mematikan rokoknya di asbak)

SARJONO:  Apa BROJO sudah tidur Mas?

AYAH BROJO:  Sudah, baru saja.

SARJONO:  Dia mencari ibunya?

AYAH BROJO:  Iya. Masih belum begitu rewel, namun ia mengaku merindukan ibunya. Itulah yang aku pikirkan sekarang.

SARJONO:  Apa yang Mas katakan padanya?

AYAH BROJO:  Aku bilang ibunya menginap di rumahmu.

SARJONO:  Untuk sementara waktu itu akan membuatnya tenang.

AYAH BROJO:  Iya, namun aku tidak bisa membohonginya terus. Ia akan semakin besar, dan ditambah lagi jika kabar ini menyebar, ia akan mendengar omongan pedas dari teman-temannya di sekolah.

(Keduanya terdiam.)

AYAH BROJO (cont.):  Tolong bantu aku. . .

SARJONO:  Tenang, Mas, saya dan Minah akan bantu sebanyak yang kami bisa.

BLACKOUT:

BABAK 2

(Panggung 1. BROJO duduk di lantai ruang tamu, sibuk mengerjakan tugas. Kemudian AYAH BROJO masuk dengan membawa kresek yang berisi jajanan pasar. Ia berjalan mendekati BROJO.)

AYAH BROJO:  Ini, tadi Bapak sekalian kulak dagangan.

(memberikan kresek kepada Brojo, kemudian duduk di salah satu kursi dan menyulut sebatang rokok)

BROJO (menerima kresek dari BROJO):  Sekarang Bapak yang jualan?

AYAH BROJO:  Iya, ibumu sempat berkata sebelum berangkat supaya tetap dibuka warungnya.

BROJO:  Pak?

AYAH BROJO:  Apa Le?

BROJO:  Ibu itu anggota Gerwani ya?

AYAH BROJO (ragu-ragu):  Iya. . .

BROJO:  Apa benar ibu tega ya?

AYAH BROJO:  Tega apa maksudmu?

BROJO:  Tega menyayat tubuh jenderal-jenderal yang dibunuh di Lubang Buaya.

AYAH BROJO:  Kata siapa itu?

BROJO:  Kata guru sejarahku. Beliau tadi menjelaskan apa Gerwani itu, dan juga berkata kalau ada dari ibu kami yang lama tidak kembali, kemungkinan ia anggota Gerwani yang sudah ditangkap.

AYAH BROJO:  Lalu menurutmu apakah Ibu pantas ditangkap?

BROJO:  Tidak (menggeleng)

AYAH BROJO:  Kenapa?

BROJO:  Saat kejadian Lubang Buaya itu, Ibu sedang di rumah, jadi tidak mungkin ia melakukan seperti yang dikatakan guruku tadi. Jadi benar Ibu ditangkap, Pak?

AYAH BROJO:  Iya. . . Ia ditangkap seminggu yang lalu.

BROJO:  Jadi dia tidak tidur di rumah Bulik Min?

AYAH BROJO:  Tidak..

BROJO:  Lalu dimana Ibu sekarang Pak?

AYAH BROJO:  Aku juga tidak tahu, Le. Tidak ada yang memberi kabar, entah ibumu masuk penjara atau bagaimana, aku tidak tahu sama sekali.

BROJO:  Kita juga tidak tahu kapan Ibu kembali?

AYAH BROJO:  Iya, kita tidak tahu. Maaf. . .

BROJO:  Aku sudah besar Pak, tidak usah khawatir. Kita tunggu saja sampai Ibu pulang.

BLACKOUT:

BABAK 3

(Panggung 1. AYAH BROJO dan SARJONO duduk di ruang tamu. Ayah Brojo terlihat khawatir)

SARJONO:  Bagaimana ia bisa tahu Mas?

AYAH BROJO:  Guru sejarah di sekolahnya katanya yang menjelaskan semacam itu. Aku tidak habis pikir sejarah macam apa yang mereka berikan kepada anak-anak.

SARJONO:  Lalu bagaimana dengan BROJO?

AYAH BROJO:  Dia terlihat tabah dan menerima keadaan, namun ia lebih suka mengurung diri dalam kamar. Aku tidak bisa berbuat apa pun.

SARJONO:  Ajaklah ia berjalan-jalan sejenak di hari Minggu nanti, agar bisa kau ajak bicara juga.

AYAH BROJO:  Kemana?

SARJONO:  Yang murah saja, mungkin ke pasar malam.

AYAH BROJO:  Iya, benar juga. (tersenyum) Dia sering kesana dengan ibunya dulu.

SARJONO:  Cobalah ajak dia kesana agar sedikit terhibur.

AYAH BROJO:  Iya. Semoga ia mau bepergian denganku.

SARJONO:  Memangnya kenapa Mas?

AYAH BROJO:  BROJO itu sangat dekat dengan ibunya, kemana-mana dia pergi dengan ibunya. Dia juga sempat berkata rindu akan cerita ibunya sebelum tidur.

SARJONO:  Kalau begitu ini adalah saat yang tepat untuk semakin dekat dengannya.

AYAH BROJO:  Iya, kau benar. Baiklah, aku akan bicara padanya.

SARJONO:  Aku pamit Mas. (berdiri) Aku akan sering-sering ke sini untuk menemanimu berbincang.

AYAH BROJO (berdiri):  Iya, terimakasih.

(SARJONO berjalan keluar rumah. AYAH BROJO meninggalkan ruangan, berjalan menuju kamar BROJO.)

(Panggung dua: kamar BROJO. Sebuah ruangan kecil yang redup; sebuah kasur dipan di sudut kamar, lemari pakaian di samping kasur, dan sebuah meja tulis di dekat pintu.)

(BROJO sedang membaca di atas kasur. Terdengar pintu diketuk.)

AYAH BROJO:  Le. . .

BROJO (berdiri membukakan pintu):  Ya Pak.

(AYAH BROJO masuk ke dalam kamar.)

AYAH BROJO:  Sedang apa?

BROJO:  Membaca Pak, akan ada ulangan besok.

AYAH BROJO:  Kamu suka pasar malam kan?

BROJO:  Iya Pak, aku suka kesana dulu dengan Ibu.

AYAH BROJO:  Ayo ke pasar malam hari Minggu besok. Kita berdua saja ke sana. Sudah lama kamu tidak ke pasar malam, hanya berkutat di kamar saja.

BROJO (terdiam):  Maaf Pak, BROJO menunggu ibu saja ke pasar malamnya. . . 

AYAH BROJO:  Sungguh kamu akan menunggu ibumu?

BROJO:  Iya Pak (mengangguk)

AYAH BROJO:  Tapi tidak ada yang tahu kapan ia akan kembali.

BROJO:  Aku tahu. Tapi aku lebih suka pergi ke sana dengan ibu. Aku akan menunggu ibu pulang dan kami akan pergi ke pasar malam berdua.

(keduanya terdiam canggung)

AYAH BROJO:  Baiklah kalau begitu. (terdiam) Sudah makan?

BROJO:  Sudah, Pak.

AYAH BROJO:  Ya sudah, yeruskan belajarnya, Bapak mau menghitung barang.

BROJO:  Iya Pak.

(AYAH BROJO keluar dari kamar.)

BROJO (cont.):  Aku ingin ke pasar malam yang murah dan semuanya senang. Tapi hanya dengan ibu. . .

BLACKOUT:

BABAK 4

(Panggung 1. AYAH BROJO duduk di kursi tamu dengan ekspresi wajah sedih.)

AYAH BROJO:  Kejadian itu ternyata benar-benar merubah segalanya, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak. Aku, istri dan anakku yang cuma orang biasa ini sebenarnya tidak tahu menahu tentang kejadian yang sebenarnya, siapa yang disuruh siapa yang disuruh, siapa yang dibunuh siapa yang membunuh. Tapi kami juga terkena imbasnya, lihat bagaimana keluarga kami mulai dipisah-pisahkan.

(berdiri) Sedangkan aku tidak tahu lagi apa yang bisa kulakukan untuk menghibur BROJO. Dia punya ibu seorang Gerwani, sebuah hal yang sebelumnya adalah hal yang biasa saja namun sekarang dianggap perlu diberantas. (marah) Aku ingin tahu apa yang dikatakan oleh guru sejarah itu tentang Gerwani, yang berarti juga tentang istriku. Bisa-bisanya mereka mengatakan kalau istriku itu pembunuh yang jahanam!

(berjalan mondar mandir) Sebenarnya apa juga yang salah pada diriku sampai BROJO menolak ajakanku untuk pergi ke pasar malam? Selama ini aku memang tidak terlalu dekat dengannya, tapi itu juga diluar kendaliku. Lalu akan sampai kapan kita menunggu? Tidak ada yang tahu pasti kapan yang tidak berdosa itu akan dilepas dan hidup Lalu sampai kapan penantianmu agar kau bisa ke pasar malam lagi dengan ibumu, Nak?

Apakah kau juga akan meninggalkan aku nanti? (menangis) Dan membiarkan aku menua di sini seorang diri? Menanggung nasib dicemooh sebagai suami seorang anggota Gerwani yang tidak berperikemanusiaan, dan mati dalam kesendirian? Apakah itu yang diinginkan olehmu, Nak?

Atau mungkin memang kau benar, jauhi bapakmu ini, pergi saja. Biar tidak usah malu menganggung semuanya, biar tidak usah menunggu dagangan habis untuk makan makanan yang enak. Biar kau bisa mencari hiburan dari lampu-lampu yang bertebaran di pasar malam sesuka hatimu. Dan biarkan aku di sini, (tersenyum bengis) terpenjara dalam bui yang kasat mata, sambil menunggu, menunggu kau ingin berbicara padaku.

(menangis)

BLACKOUT:

SELESAI

Pencarian Brojo

KARAKTER:

BROJO

MAY

PROLOG:  Terdengar suara keramaian pasar malam; suara tawa anak-anak, mainan, dan pedagang yang menawarkan jualannya.

BROJO KECIL (voiceover):  Aku ingin ke pasar malam yang murah dan semuanya senang, dan hanya dengan ibu. . .

BABAK 1

(Panggung 1: Ruang tamu rumah BROJO. Sebuah ruangan dengan perabotan mewah: sofa, meja tamu, karpet, sebuah rak yang berisi pajangan kaca dan foto BROJO dengan istrinya, MAY.)

(BROJO tengah duduk di sofa. Ia seorang pria berusia akhir lima puluhan, mengenakan pakaian kasual bermerek.)

BROJO:  Pasar malam. Kenapa pasar malam begitu murah namun menyenangkan? Tidak perlu membawa dompet tebal untuk naik kendaraan seru, seperti di taman hiburan yang megah itu. Makanan yang dijual juga murah-murah, terkadang bisa hutang kalau kenal dengan pedagangnya. Mau naik kincir angin sampai mabuk atau makan gula kapas sampai diare juga tidak masalah.

Sebenarnya saya rindu pergi ke pasar malam. Tapi gengsi. Ya karena saya sudah jadi orang sukses, BROJO sudah kaya, bukan lagi anak pedagang toko kelontong. Orang kaya tidak seharusnya ke pasar malam, nanti dikira miskin dan haus hiburan. Kalau menuruti hati saya bisa beli tempat karaoke atau bioskop untuk saya pakai sendiri dengan istri, tapi nanti kekayaan kami yang sudah menggunung ini akan semakin mencolok.

Kapan ya terakhir kali saya ke pasar malam? Rasanya sampai susah diingat karena sudah terlalu lama. Ah, sudahlah jangan sampai ada yang tahu kalau saya masih mencari pasar malam.

(MAY, istri BROJO masuk ke dalam ruangan. Seorang perempuan lebih muda dari BROJO, dengan riasan wajah yang menarik. Baju yang dikenakannya juga terlihat mahal. MAY berjalan dengan santai namun pandangannya tajam dan gerak geriknya waspada.)

MAY:  Pasar malam lagi?

BROJO:  Eh, May?!

MAY:  Apa kau tidak ingat kata-katamu sendiri waktu itu?

BROJO:  Apa?

BROJO (voiceover):  Sudahlah, Roh, kau percaya denganku. Kita kawin lari saja, pergi dari kampung ini dan melupakan semua identitas kita. Kalau perlu kita ganti nama saja biar lebih terdengar kekotaan.

MAY:  Kau ingat? Ya, walaupun akhirnya hanya saya yang berganti nama panggilan dari Maesaroh menjadi MAY, dan kau mempertahankan namamu.

BROJO:  Saya hanya rindu.

MAY:  Rindu ibumu juga?

(BROJO terdiam.)

MAY (cont.)

(duduk di sebelah BROJO dan mendekat dengan manja)