Jelmaan-Jelmaan Air

Nukila Amal

Artwork by Eunice Oh

Syam, tak seperti namanya, bukan seorang matahari. Ia antitesis cahaya dan segala yang terang. Semisal lukisan, ia bukan figur di tengah yang terang-benderang berdiri gagah berkacak pinggang, namun siluet gelap berjubah hitam yang bersandar di sudut. Siluet yang mengamati segala di sekitar, di dalam dan di luar lukisan.
 
Syam manusia temaram. Yang cemerlang adalah benaknya. Dan matanya. Matanya menatap tajam wajah dan tingkah-polah orang-orang di sekitarnya. Menghunjam cemerlang, daya hunusnya kerap membuat orang tak nyaman, dan mereka dalam hati menganggapnya menjengkelkan atau menggentarkan. Matanya bisa tak berkedip lama, menatap siapapun yang bicara di depannya. Jika ia sedang begitu, hanya Tuhan dan dirinya yang tahu apa yang sedang ia pikirkan.
 
Seorang ironis sejati, bicaranya kerap tampak berlawanan dengan akal sehat banyak manusia. Ini dilakukannya nyaris tanpa usaha. Ia memasang muka jernih, muka bingung, muka jemu, muka tolol, muka dingin, muka apa saja sesuai orang yang dihadapi. Tetapi, selalu ada jejak semacam sinisme halus, keisengan, kalau bukan kekurangajaran. Jejak itu sudah permanen, apapun ekspresi wajahnya. Biasanya Syam menjawab bicara setelah membiarkan mereka bicara panjang-lebar secara sok aksi dan bergaya. Ketrampilan bicaranya yang tenang tapi akrobatik mampu menjungkir-balikkan pikiran dan perasaan orang-orang, mengeluarkan sifat paling buruk dari dalam diri seseorang. Orang-orang, yang umumnya berlalu darinya dengan satu kesimpulan serupa: dia bajingan, sembari menyesali dan mengutuk hari perjumpaan dengan Syam. Bicaranya kerap baru dipahami orang-orang seminggu, sebulan atau setahun kemudian, seakan punya masa inkubasi tertentu. Suaranya lalu terngiang menyiksa jam-jam larut mereka sebelum tidur, mencabik kepastian dan kepalsuan diri mereka sebagai manusia. Ia sangat mungkin sering muncul dalam mimpi buruk sejumlah orang.
 
Syam, sesekali saja melihat terbit matahari. Jarang berbaju rapi atau mencukur jenggot dan rambut. Sekilas ia tampak awut-awutan, tapi jika diamati lebih dekat, kuku-kuku tangannya selalu pendek dan bersih. Sebersih kemeja dan telinganya. Perawakannya tinggi kurus, seakan tidak teratur makan—dan memang demikian adanya. Ia makan tiga kali sehari hanya jika sedang bersama ketiga sahabatnya, Batara, Anya dan Ale. Syam lebih suka mengurung diri membaca buku. Begitu banyak buku dihabiskan baca dalam kecepatan di atas rata-rata orang. Ia mengutip perkataan atau tulisan siapalah yang sesuai kesempatan apalah saat bersama para sahabatnya—untuk sekadar menjengkelkan ketiga temannya. Ia mengutip Heraklitus atau Konfusius, Isutzu dan Lao Tzu, Charles dan Jean Fourier, Ibnu ‘Arabi dan Hammurabi, Novalis dan sejumlah novelis. Juga Rilke dan Roethke, atau penyair Cina dinasti T’ang dan penyair Polandia pasca-perang. Jika tidak sedang mengutip, Syam senang mendefinisikan. Maka, cinta adalah ‘lirisisme cengeng berdua bertiga berjamaah’, keseksian adalah ‘kemampuan untuk merefleksikan kenikmatan potensial’.
 
Sudah sering ketiga temannya mesti menanggung malu oleh ujar atau ulah Syam di pelbagai acara pergaulan. Biasanya melibatkan orang lain yang menantangnya berkelahi, orang yang sakit hati atau menangis.
 
“Tuh lihat, kamu benjol memar biru ungu begini—Nggak bakal begini kalau kamu tadi pura-pura pingsan, Syam!—Atau pura-pura cacat. Pulang sana, nyesal aku ngajak kamu kondangan!”
 
Begitulah ketiga temannya mengeluh dan mengumpat sepulang dari suatu acara. Syam tak menjawab, ia santai rebahan di sofa dengan kompres es batu di dahi.
 
 
 
*
 
Syam dulu tak seperti ini. Syam 1.0 seambisius pemuda-pemuda lain seumurnya, menatap penuh harap masa depan yang masih panjang terbentang, menerakan mimpi-mimpi sepanjang jalan. Syam dulu bersinar-sinar seperti nama Arabnya. Ia arsitek, penganut dan penganjur penggunaan bahan-bahan setempat dalam bangunan yang dirancangnya. Ia tak peduli dengan konsep arsitektur modern yang diterapkan rekan-rekan arsitek—mereka yang tentu karirnya lebih laju—dan kerap menolak proyek properti kepingin modern yang tak menerima konsep ‘muatan lokal’ yang diajukannya. Begitu banyak prospek yang dilewatkannya begitu saja. Ia lebih mirip tukang ketimbang arsitek, mengerjakan sendiri detail bangunan sembari menebarkan ilmu pada mandor hingga kuli bangunan tamatan SMP. Jika sedang tidak menggambar di kertas kalkir besar, ia mencorat-coret sketsa di buku gambar besar. Ia juga suka mencorat-coret pada buku kecil, mengetik di laptop. Sesekali ia menulis sejumlah esai kritis yang panjang, tak hanya tentang arsitektur namun melebar ke hal-hal lain. Sesekali ia pacaran, datang ke pesta-pesta, naik-turun gunung, ke kelab jazz—segenap cara-cara manusia untuk bersibuk melupa.
 
Di akhir 2005, tiba-tiba segala berubah. Sesuatu telah mengubah Syam luar dalam.  Sesuatu yang biasa terpandang mata, namun mampu membelokkan dan menekuk takdir seseorang dengan teramat fatal. Sesuatu yang sangat akrab dan biasa, sesuatu yang takkan pernah lagi sama di mata Syam, menjelma doa dan mimpi buruknya, membayang pada benda yang disentuh dan wajah yang ditatapnya, melekat di langkah kakinya sepanjang jalan: Air. Adalah air yang telah meredupkan matahari dalam diri Syam, kini tinggal temaram.
 
Air telah mengingkari Syam, mengingkari umat manusia dan kepastian matematika hitungan mereka. 1 + 1 = 2 tak berlaku bagi air, setitik tambah setitik tetaplah setitik air. Titik-titik air yang bergabung-gabung memperbanyak diri. Merambah pergi dari Sumatra ke Jawa dan entah ke terus ke mana, menyusuri pelan-pelan jarak, menjelma segala warna dan rupa. Selalu akan dikenalinya. Air yang cuma singgah. Sementara. Seperti dirinya.
 
Air telah singgah menerjang kampung halamannya, menjelma luapan bah dengan mahadaya penghancur apapun dan siapapun. Dan Syam tak ada di sana, berada jauh dari segala mala, dari keluarga. Mereka yang mesti mengalah dalam kuasa air, tertelan di dalam murkanya yang buta. Syam tiba di Aceh pada hari kedua, ketika mayat-mayat masih segar berlumur lempung berserakan di jalanan. Telah beberapa tahun lalu, namun masih seperti kemarin dirasakannya, masih keluar dalam mimpi buruk berulang yang terus menghantui malam-malamnya.
 
Air bah telah mengubah Syam jadi pertapa, ia tiba-tiba seakan bertambah tua. Uban tiba-tiba memenuhi kepalanya, wajahnya dibiarkan berjanggut. Ia mengalihkan cicilan apartemennya pada seorang rekan arsitek lajang yang masih ingin bermimpi. Ia pindah ke rumah pamannya, menempati paviliun teduh yang telah lama kosong. Di suatu malam paman tertuanya telah meminta, ‘Syam, tinggallah di sini.’ Bibinya telah lebih dulu berlinang. Ini terjadi setelah Syam sempat lama menghilang dari Jakarta. Ia pulang kampung mengerjakan proyek pembangunan rumah-rumah yang hancur bersama beberapa teman arsiteknya. Ia juga membangun kembali mesjid dan SD bersama para penyintas di kampungnya. Ini kerja konstruksinya yang terakhir kali, ia lalu berhenti sama sekali.
 
Di malam-malam hari, Syam sering bercakap dengan bibi, paman, bibi tertua yang sudah agak pikun, dan sepupunya yang masih sekolah. Selalu ia menghindari percakapan tentang masa lalu atau kampung halaman mereka. Sepulangnya ke Jakarta, ia kemudian lebih banyak mengurung diri di kamar. Sesekali ia menghilang pergi entah ke mana, tak berkabar, mungkin naik gunung sendirian entah di mana. Lalu ia muncul lagi di Jakarta. Di banyak akhir pekan ia ke rumah Ale dan Anya, namun lebih sering bercakap dengan ayah si kembar, Om Nala. Topik obrolan keduanya seakan tak pernah habis, juga punya lelucon sendiri yang hanya dimengerti berdua. Kalau sudah begitu, Anya dan Ale merasa sebal lalu pergi tidur. Sesekali Syam kelamaan mengobrol, maka ia menginap di kamar tamu atau di kamar Ale.
 
Ketiga temannya sering datang menyambangi paviliun Syam. Mereka sering datang mengendap-endap mirip pasukan khusus dalam misi rahasia. Masalahnya, bibi tertua suka mencegat dan menyuruh mereka duduk dulu membacakan surat-surat Al-Qur’an. Bibi tertua mendengarkan sambil manggut-manggut setuju jika lafalan mereka benar dan memarahi dengan galak jika keliru. Ketiga mereka sungguh gentar dibuatnya. Batara memakai kalung salib besar jika ke sana, sebab bibi tertua tak pernah ingat ia seorang Katolik dan selalu Batara kena giliran pertama.
 
Mereka saksikan bagaimana paviliun Syam kian lama kian bertukar-alih benda, benda-benda tak esensial enyah berganti buku. Kamarnya dipenuhi buku-buku: berjejer di rak, bertumpuk di atas lantai, berserakan di meja tulis. Meja arsitek tak lagi ada, bernasib sama dengan sejumlah piranti arsitektur yang dihibahkannya. Syam masih sering menulis. Beberapa esai panjang pendek masih ditulisnya. Ada yang dikirimnya untuk publikasi, ada yang tidak. Dua kali ia menerjemahkan novel tebal yang ia suka. Satu kali ia iseng menulis novel lebih tebal. Itu sebuah novel aneh. Judul, isi, juga nama penulis adalah anagram nama panjangnya. Namun novel aneh itu dipuji para kritikus padahal mungkin sesungguhnya mereka kebingungan. Tak ada foto penulis atau riwayat hidup, peluncuran buku, wawancara; Syam hanya bersurat dengan penerbit. Cuma tiga temannya yang tahu siapa penulis novel serba aneh itu. Hanya Anya yang membaca novel aneh itu sampai tamat, Ale menyerah di bab lima, Batara membeli tapi tidak baca sama sekali. “Dengar bicara orangnya saja aku mau semaput, apalagi baca buku tulisnya?”
 
Saat itu tak seorangpun menyana, di kemudian hari akan ada pula ‘buku tulis Anya’.
 
 
 
*
 
Kakiku berat di atas tanah. Dalam satu sapuan mata, kulihat segala berserak. Kudengar gumam istighfar berulang, begitu samar, gamang, hingga kuragukan jika kalimat itu memang milikku, apakah itu suaraku, keluar dari mulutku, ataukah dari langkah kakiku. Tak pasti, apakah kakiku menapak satu-satu, ataukah panjang-panjang berlari. Yang pasti hanya rasa keintiman lama itu, seperti mengenali wajah seseorang yang bertahun-tahun kemudian kutemui namun ia terlanjur jenazah. Wajah yang masih kukenali, tetapi raut mati.
 
Ini kampung yang pernah. Jalanan yang pernah. Aku mencari jejak rumahku. Jalanan penuh puing dan rangka bangunan, lumpur serupa enamel yang melapisi semua yang pernah. Semacam bebauan bergerak di udara, di atas kelupas aspal, lembab lempung dan gelimpangan mayat. Begitu banyak mereka. . . Bau ini kutahu kelak akan menghantuiku di antara banyak aroma lain di tempat-tempat lain. Maka aku menukar aroma itu dengan harum gardamun di kain ibu, wangi deterjen kemeja ayah saat salat Jumat, semerbak tiga tangkai mawar di tangan adikku, melati kering di seprai nenek.
 
Kukenali mesjid. Empat dinding putihnya masih berdiri tegak menandu kubah, tak lagi berpucuk bulan bintang. Di halaman mesjid, seseorang berwajah putih mengangkat bulan sabit dan bintang jatuh. Di langit, matahari seperti daun melayang. Pecahan kaca dan patahan kayu timpa-menimpa dengan pohon tumbang dan bongkah beton di mana-mana. Tak jauh dari mesjid, kedai yang pernah. Tempat aku dan ayahku duduk minum kopi di sore-sore hari seusai mengaduk semen dinding mesjid bertahun lalu.
 
Kukenali dua tiga wajah akrab tetangga. Mereka berwajah putih. Mereka bukan mendiang, telah diluputkan maut. Sedang yang berserakan, wajah-wajah mereka berwarna lempung. Aku tak tahu apa warna wajahku.
 
Rumahku. Dinding-dindingnya masih tegak berdiri meski rompal, mengangakan luka. Berserakan bilah-bilah kayu, bongkahan bata kelabu, retakan ubin dan kaca. Kukenali setiap detail yang pernah, suatu kali telah tergenggam tanganku dan ayahku. Kami membangun kembali rumah tua warisan kakek, dalam satu pulangku ketika cuti. Dengan lihai aku mengamalkan ilmu dan pekerjaanku di ibukota. Aku buruh yang menyusun batu-bata, aku arsitek yang menggambar cetak biru rumah, aku pengunjung yang datang tak teratur. Ke rumah yang pernah.
 
Kukenali mereka seketika. Ayah, ibu, nenek, adik. Wajah mereka jernih bersenyum. Mereka duduk di atas tikar pandan, sedang mendengarkan nenekku menyanyi lagu berbahasa lama yang tak kumengerti. Seperti dulu sering nenek nyanyikan buat kami di malam-malam hari. Nenek jeda menyanyi, berpaling menyapaku, ‘Kau sudah pulang.’ Semua mereka berpaling menatapku. Mereka tak sedih, sebab ‘Maut datang terlalu cepat untuk sempat bersedih, kau ingatlah kami dalam bahagia ini.’ Wajah-wajah mereka lempung licin cemerlang. Mereka melambai, gerak menyuruh pergi, ‘Mulailah kerjamu di sini.’
 
Aku berpaling. Kurasakan air di lempung wajah mereka, air di pipiku dingin, apa bedanya. Aku tak tahu apa warna wajahku. Melangkah keluar, di jalanan kulihat seorang anak lelaki berwajah putih, memeluk sebuah sisa tiang beton. Ia menatapku, tertawa senang memperlihatkan putih gigi susu. Ia menandak-nandak gembira, melompat, menari, masih tertawa. Aku menghampirinya, heran mengapa ia begini riang di tengah semua yang muram.
 
Anak lelaki menatapku, dahinya berkeringat oleh tarian dan lompatan. Peluh turun ke bajunya yang berdebu, ada banyak bekas luka di badannya. Ia menyeka dahi dan mendongak menatap wajahku yang menjulang. Jarinya memberi isyarat agar aku membungkuk ke arahnya. Aku membungkuk, menatap bola matanya yang bundar. Seakan kukenali ia.
 
Anak lelaki mengamati mata dan keningku, lalu menepuk-nepuk pipiku. ‘Air melukakan kita.’
 
‘Siapa namamu?’
 
‘Syam. Kau sudah besar sekarang.’
 
‘Syam? Kau tak seperti yang kuingat. Aku. . . aku dulu tak seriang ini.’
 
‘Aku harus bergembira ria.’
 
‘Mengapa?’
 
‘Sebab sudah harus begitu. Tambah malam, aku akan tambah bahagia. Mestinya kau lihat aku jam dua belas malam nanti.’
 
‘Mengapa?’
 
‘Sebab sudah harus begitu. Dirimu besok hari akan berduka, terlalu berduka. Maka aku, dirimu yang kemarin, harus melewatkan waktuku dengan bahagia.’ Anak lelaki berpaling, ‘Aku pergi dulu, temanku sudah memanggil. Dia tahu.’Anak lelaki menunjuk ke arah seorang anak perempuan yang berdiri tak jauh, berbaju kuning-hitam dengan pita, tengah menatapku lekat. Kurasa anak perempuan itu memang sudah tahu.
 
‘Sedih. Jangan. Berkepanjangan.’ Anak lelaki berkata sembari melompat tiga kali. ‘Bahkan mesjid inipun insya Allah akan berdiri lagi.’
 
Anak lelaki berlari menuju temannya. Keduanya lalu berjongkok dan bermain. Anak perempuan mulai menyanyi, suaranya bening tinggi, mengalir seringan udara. Sebuah kidung dalam bahasa lama.
 
Dan tiba-tiba bahasa lama itu kupahami. Anak perempuan menyanyi kidung tentang jelmaan-jelmaan air. Seiring kidung, segala warna dan rupa air berkilasan. Air di tepian mata, air di dahi anak lelaki, air yang menggumpal berarak di atas kepala, air yang mundur menuju cakrawala, air di dalam lumpur di kakiku, air di dalam tubuh para jenazah. . . Air yang sama, yang pernah berayun di kelopak mawar adikku, di dahi ayahku kala subuh hari, gelembung sabun yang pecah di basuhan kain ibuku, kopi dan kue halia buatan nenekku. . . Air yang sama, dalam banyak jelmaannya. Akan kukenali rupa dan warna mereka semua. Sedang aku masih tak tahu, apa warna wajahku.
 
Kedua anak bangkit. Mereka berjalan menjauh, aku menggapai-gapaikan tanganku, ingin berlari mengejar mereka, jangan pergi, jangan pergi dulu—
 
Syam tersentak, terjaga dengan napas memburu. Selalu, ia terjaga dari mimpi itu dengan dada sesak dan pipi lembab. Di rasanya ada jari yang menyeka pipinya. Syam membuka mata, melihat Anya tengah membungkuk ke dekatnya dengan mata risau sambil memanggil namanya, ‘Syam, Syam. . . ’
 
Dalam beberapa lintas detik Syam melihat Anya berwajah putih anak kecil perempuan berpita. Syam mengerjapkan mata dan kembali melihat wajah Anya yang biasa, Anya dewasa. Di latar belakang, dikenalinya bentuk-bentuk temaram di kamar, bukan kamarnya, itu kamar tamu rumah Anya. Syam meraih jari Anya di rahangnya, mendekapnya erat-erat seakan tangan Anya sauh terakhir tempat berpegang seusai laut terjauh. Anya berbaring di sisinya, tak bicara apa-apa.
 
Ruang temaram sempurna, hening begitu lama. Hanya ada suara serangga dan tiup sesekali angin malam.  Di suatu saat, ada suara Syam. Berbicara pelan, suaranya lamat-lamat mengalir ke telinga Anya. Satu-satunya manusia di dunia yang ia ceritakan tentang mimpi berulang itu. Anya merasakan denyut jantung di dada Syam, setiap hirup napasnya. Syam merasakan lembab pada bahu kemejanya. Sisa peluhnya dari mimpi yang lelah, tetes air mata dari tangis sunyi Anya, apa bedanya, keduanya sama air. Anya masih tak bicara apa-apa hingga Syam selesai bicara dan ruangan kembali hening. Mereka berbaring seperti itu sepanjang sisa malam.