Mengunjungi Rumah Hantu

Intan Paramaditha

Illustration by Emma Roulette

Ini bukan cerita hantu semacam itu, kau tahu. Ceritaku begitu lazim, tak ada yang luar biasa, sebagaimana nenekku mati secara alamiah seperti nenek-nenek pada umumnya. Ia mati empat hari setelah ulang tahunku yang ke-29. Dengan sengaja kulewatkan pemandangan berupa perempuan berkerudung merapal doa dan lelaki berpeci menimbun tanah di atas jasadnya, nun jauh di bawah sana. Aku cucu kesayangannya, maka kuharap ia maklum mengapa aku tak menghabiskan seribu lima ratus dolar demi melihatnya dibalut kafan. Tak ada gunanya mengejar orang mati.

Kabar tentang kepergiannya kuterima di New York. Aku tengah berjalan terburu-buru menuju stasiun West 4th ketika SMS dari ayahku masuk. Masih menggenggam ponsel, aku berhenti dan menoleh ke arah lapangan kecil di sebelah kiri jalan. Sekelompok lelaki bermain basket dikelilingi penonton, dan satu-dua pejalan melongok ke arah kerumunan sembari menghisap rokok. Permainan tampak kelewat lambat. Seorang perempuan menabrak bahuku, mengucap maaf yang nyaris tak terdengar, dan berlari menuruni tangga subway. Rasanya aku tertidur sekejap. Aku merasa aku juga harus berlari—ke sana, ke arah si perempuan pergi, mengejar kereta. Di buku harianku, kutulis pesan singkat untuk nenekku: Maaf, aku tak bisa mengantarmu naik kereta terakhir sebab aku juga sedang naik kereta. Kereta ini terus melaju, tak berhenti meski kau mati.



*

Aku selalu suka nama nenekku, Victoria. Aku tak tahu mengapa ia diberi nama begitu. Mungkin ibunya merujuk pada satu peristiwa di tahun 1895, ketika Ratu Wilhemina dari Belanda mengunjungi Ratu Victoria dari Inggris. Aku termasuk generasi yang dikelilingi banyak perempuan tua kebelanda-belandaan, seperti nenek dan buyutku. Mungkin mereka sekadar gaya-gayaan, dan kita semua inlander yang ingin jadi Eropa. Tapi aku senang mengucap nama itu berkali-kali: Victoria, Victoria. Nama itu mengingatkanku pada Victor Frankenstein—sang ilmuwan. Nenekku memang tak sejenius Victor yang bisa bikin manusia sendiri, tapi ia cukup terpelajar sebab ia seorang guru.

Setahun setelah kematian Victoria, kukunjungi rumahnya bersama ayah dan seorang pamanku. Maka berbarislah kami: Papa dan Oom, serta seorang perempuan perantau. Anak-anak Victoria tak sabar ingin menjual rumah itu sebab tak ada di antara mereka yang mau mengurusnya. Entah siapa yang mau beli, kata Papa, sebab seperti rumah tak berpenghuni lainnya, rumah nenekku berhantu. Seseorang yang mengaku bisa melihat segala hal tak kasatmata melaporkan bahwa rumah Victoria dihuni kuntilanak. Perempuan setan berambut panjang itu tinggal di dekat sumur. Perempuan yang tak ada di sini, di dunia kita, namun tak juga “di sana.” Dimanapun “di sana” itu, bisa dipastikan ia tak beristirahat dengan tenang.

Apa Nenek gentayangan juga? tanyaku.

Hus! Jangan samakan nenekmu dengan kuntilanak.

Nenekku rajin beribadah. Kata orang, mereka yang rajin beribadah akan beristirahat di sisi Allah.

Good girls go to heaven.

Cewek baik masuk surga, cewek bandel gentayangan.

Papa dan Oom tak mau membayangkan Victoria jadi hantu meski namanya terlampau sesuai dengan imajinasi horor. Tapi aku merasa ia berkelebat di sini, di rumah ini, mengamati tiap langkah kakiku. Kuntilanak berumah di sumur, sedangkan nenekku tak betah di rumah. Ia mungkin mendapati surga sedikit membosankan dengan kenikmatan berulang: air jernih mengalir, limpahan madu, dan buah zaitun yang siap dipetik (ia bukan penggemar buah zaitun). Semasa Victoria muda, tak ada yang lebih menggembirakannya selain naik angkutan kota ke pasar dengan gaun katun bermotif bunga-bunga, tas anyaman, dan kacamata hitam. Sangat masuk akal bila sesudah mati ia lebih suka gentayangan.



*

Belasan tahun yang lalu, sebelum nenekku jatuh sakit, rumah ini masih berdenyut. Aku masih ingat di mana ia tidur. Ini kamarnya, dan tepat di sebelahnya adalah kamar si Oom yang ditempeli poster Duran Duran dan Phoebe Cates (di mana Phoebe Cates sekarang?). Pamanku yang satu lagi kuliah di kota lain, maka ia tak punya kamar. Setiap lebaran, Victoria membuat kaastengels, juga kue lapis susu dan lapis legit, kue-kue padat mentega, susu, dan gula yang gurih berdosa. Di keluargaku tak ada lagi yang membuat kue semacam itu. Tak ada orang yang punya waktu delapan jam untuk bikin kue.

Ayahku sempat punya ide menyewakan rumah Nenek, tapi hingga kini tak ada yang berminat karena rumah itu terlalu besar dan angker. Maka ia dibiarkan tak terurus. Aku bertanya pada ayahku: Memang si Oom tak punya waktu memangkas tanaman yang meranggas atau membersihkan sudut-sudut dinding dari sarang laba-laba? Mana mau dia melakukannya, kata Papa. Dengan nada iri ia menambahkan: Pamanmu dapat warisan kebun cengkeh dari Nenek. Wow, kebun. Betapa hebatnya. Aku sering berkhayal, khususnya saat sedang berlari-lari memanggul ranselku di terminal dan bandara, bahwa cuma Tuhan yang punya kebun. Kebun Tuhan abadi, sedangkan segala yang fana di dunia ini adalah milik korporat, atau negara.

Rumah Victoria perlahan-lahan kosong. Baru beberapa bulan terakhir anak-anaknya menyadari bahwa setiap benda telah dicuri oleh maling-maling amatir. Rumah ini sudah minta dikubur; bahkan jam dindingnya mati. Tantemu Leila dan sepupumu Rika sudah kemari, kata Papa. Mereka sudah ambil semua barang berharga. Lampu antik. Vas bunga. Para lelaki di keluargaku datang terlambat. Sebetulnya selalu begitu, tapi aku lupa. Setelah bertahun-tahun pergi, kau hilang ingatan atas kebiasaan orang-orang.

Sekarang ambil yang kau suka, kata Oom.

Aku tak mau apa-apa.

Kalau bukan kau pasti orang lain yang ambil.

Baiklah, setidaknya aku paham dua hal. Pertama, tak ada gunanya menyimpan benda-benda milik orang mati di rumah mereka. Kedua, segala yang dimiliki orang mati kemungkinan besar akan dirampok, dan penjahatnya tentu bukan kuntilanak.

Kubuka lemari baju nenekku. Sewaktu kecil, aku tinggal selama dua tahun di rumah ini, menciumi baju-bajunya yang tersimpan di lemari. Baju-baju itu bau sabun cuci, dan aku lebih menyukainya ketimbang baju yang melekat di tubuh Victoria. Bau tubuh nenekku sedikit memusingkan, semacam campuran aroma bawang merah, mentega yang leleh dalam oven, dan asap rokok. Ia merokok Gudang Garam. Di dalam lemarinya masih tersimpan beberapa potong pakaian yang tergantung dan dilipat, sajadah bergambar Ka’bah, dan sebuah piano mainan. Itu milikku. Aku mengingatnya, sebuah piano mainan berwarna biru muda, mainanku semasa tinggal di sini. Ayah dan pamanku masih bercakap-cakap, dan dengan cepat kuambil tisu dari dalam tas untuk menyeka mataku. Nostalgia sialan.

Pakaian yang tergantung di sini bukanlah pakaian yang terbagus, kecuali setelan jas dan celana abu-abu milik kakekku. Cuma satu, karena yang lainnya sudah dicuri orang. Victoria selalu ingin suaminya tetap dandy, senantiasa perlente, seperti ketika mereka pertama kali bertemu dan berdansa-dansi. Terkadang aku bertanya-tanya apa mereka tak malu berpesta-pesta di masa kolonial, tapi di masa itu aspirasi lain tak terbayangkan. Inlander tak tahu bagaimana berhasrat di luar naik kapal, pesta-pesta, pergi ke negeri yang jauh. Nenekku selalu ingin keluar negeri, tapi ia hanya bisa naik angkot ke pasar dengan gaun-gaun cantik. Sementara itu, kakekku mati di pertengahan tahun 80-an, dan aku tak punya banyak kenangan bersamanya. Aku hanya ingat ia sering memboncengku berkeliling kota naik Vespa, juga berwarna biru muda seperti piano mainan, lalu kemudian ia akan memberiku Sugus, permen berbentuk segi empat dengan rasa stroberi, jeruk, dan anggur (aku tak tahu apakah anak-anak kecil sekarang masih mengunyah Sugus).

Semua orang ingin pergi tapi tak bisa, maka mereka menanam kaki pada rumah, tanah, kebun.

“Kau harus simpan apa yang tersisa.”

Entah siapa yang berisik kali ini, Papa atau Oom. Aku tak menghiraukannya.

Aku lebih tertarik pada cermin buram dan meja rias berdebu di kamar nenekku. Di meja tergeletak surat yasin, botol minyak wangi kosong, dan lipstik merah patah. Merah, seperti mulut kuntilanak pemakan orok. Siapa yang berhias di depan cermin sekarang?

Papa dan Oom terdengar makin riuh seperti terminal angkot, makin putus asa, berupaya menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan.

Ini. Ambil guci ini. Cangkir. Lukisan.

Lemari, kata Papa.

Atau ini. Peti antik dari Bali. Ini dulu punya nenek buyutmu.

Peti kayu itu seperti peti para penyihir. Gelap dan cantik. Aku mulai berpikir kalau mengambil peti itu mungkin ide yang bagus karena akhirnya aku bisa memiliki sesuatu yang berat, kuno, kokoh, seperti layaknya perempuan-perempuan berkuasa di Sumatra. Seperti nenekku, nenek buyutku, dan tanteku Leila.

Tapi nanti kusimpan di mana? Aku bahkan tak punya rumah.

Bawa saja ke New York, kata Papa.

Mahal amat! Dan siapa yang tahu ke mana aku pindah setelah itu. Sydney, barangkali.

Papa bisa simpan sampai kau pulang nanti.

Pulang ke mana? Kapan?

Ada sesuatu yang membayang pada cermin buram itu. Aku memalingkan wajahku. Pertanyaan itu datang kembali, namun kini ia agak mengganggu: Siapa yang berhias di sana sekarang?

Kuntilanak.

Aku tak mau bertemu hantu kuntilanak di cermin. Aku mau bertemu hantu nenekku. Victoria. Aku ingin Victoria yang jasadnya tak kulihat saat ditimbuni tanah. Akan kupecahkan cermin agar aku bisa memeluknya. Aku melangkah lebih dekat ke arah cermin demi mengetahui wajah perempuan itu. Lututku sedikit gemetar. Saat itu aku sadar bahwa nenekku tak bergentayangan, setidaknya tidak di rumah ini. Hantu itu adalah aku.

Kakiku tak menapak di mana-mana, tak punya rumah, tak kenal cinta pada tanah. Tapi apakah rumah? Rumah ini sudah lama keropos, jauh sebelum kuntilanak datang; ia hancur pelan-pelan bersama mayat Victoria yang digerogoti belatung. Mengambil apa yang masih tersisa di sini tak akan menyelamatkan apapun. Papa dan Oom tak tahu itu. Tapi aku tahu, sebab kakiku tak menapak.



*

Kuputuskan untuk membawa sesuatu dari rumah Victoria. Piano mainan, setidaknya benda itu memang milikku. Sebuah kenangan masa kecil akan menyelundup di bandara sebab tak ada gudang untuk menguburnya. Ia ingin ikut transit di Hong Kong.

Pesawatku berangkat tiga hari lagi. Mungkin setelah bertahun-tahun aku akan kembali lagi ke sini dan rumah ini sudah rata dengan tanah. Tapi Victoria tak peduli sebab ia akan ada di New York, Tokyo, atau Paris dengan gaun katun berbunga-bunga dan kacamata hitamnya (sudahkah kubilang kalau ia tak terlalu suka buah zaitun?). Mungkin ia menghantui Amsterdam, sebab ia senang berbahasa Belanda. Lalu kami akan bertemu, di sebuah dimensi, bila bukan di suatu tempat yang bisa diraba dan dilihat.

Cewek baik masuk surga, cewek bandel gentayangan. Lihat Victoria, bukankah aku benar-benar cucu kesayanganmu?


Excerpted from Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu (The Wandering: Choose Your Own Red Shoes Adventure), forthcoming from Gramedia Pustaka Utama in October 2017.