Hawa

Avianti Armand

Baiklah kita khayalkan bahwa perempuan
itu ada dan ular itu ada dan taman di Eden
itu ada.

Dan seperti Tuhan, kita mulai meletakkan
segala sesuatu pada tempatnya:

1 sebutir matahari untuk menandai
   timur
2 sebatang sungai bercabang empat;
   Pison, Gihon, Tigris, dan Efrat
3 beberapa pepohonan yang baik
   untuk dimakan buahnya
4 beberapa ekor burung, sepasang
   rusa, sepasang babi, seekor ular
5 seorang perempuan
6 sepokok pohon kehidupan
7 sepokok pohon pengetahuan
   tentang yang baik dan yang jahat

Separuh bulan telah disiapkan di sisi.
Dan beberapa bintang seperlunya. Di
panggung yang sempit ini tak banyak
yang bisa kita jejalkan dan jajalkan.
Kedua pohon itu mengisi banyak sekali
ruang, kita hanya bisa menyisipkan hari
yang tak utuh dan sebuah malam yang
miskin.

Lalu terdengarlah kata dengan pengeras
yang getas:
"Semua pohon dalam taman ini boleh kau
makan buahnya dengan bebas, tetapi
pohon pengetahuan tentang yang baik dan
yang jahat itu, janganlah kau makan
buahnya, sebab pada hari engkau
memakannya, pastilah engkau mati."

Ciap-ciap burung segera menggantikan
firman.  Matahari menggantung seperti
jeruk. Sungai mengalir diagonal dari
ujung ke ujung. Binatang-binatang
bergerak canggung. Perempuan itu berdiri
di bawah pohon pengetahuan. Ular melilit
di batangnya dengan lidah terjulur. Di
dunia yang masih baru ini, semua tahu
tentang sebuah musim saja, terang, gelap,
petang dan pagi tiap harinya, dan segala
yang terjadi di antaranya. Tak satu pun
tahu tentang mati.

Tapi kita sama-sama tahu, 'jangan' adalah
mantra pemikat dan Tuhan telah
menggulirkan dadu. Memang ada tanda
tanya yang berjatuhan seperti hujan di sisi
kanan, tapi tak ada yang peduli.

Sementara, laki-laki, manusia pertama itu,
tak terlihat di mana-mana. Sesosok
malaikat melayang turun dan melaporkan
dengan santun (sebelum ia berubah jadi
cahaya yang meresap ke dalam layar),
"Manusia itu berkeliling menamai tiap
tiap makhluk yang hidup: binatang
binatang dan susuannya, dan tumbuh
tumbuhan dan cikalnya."

Beberapa langkah sebelum pohon itu,
perempuan ini belum lagi ada. Ia baru saja
ada dan ia belum bernama.

Kata perempuan kepada ular:
"Telah kulihat satu makhluk yang indah di
kulit sungai yang beku. Di kepalanya ada
surai yang berkilau. Di dadanya sepasang
buah yang molek. Di pangkal kakinya
segumpal semak berduri. Dan ia
menatapku."

Jawab ular:
"Itu adalah kamu. Tapi kamu tidak boleh tahu."

Tanya perempuan:
"Apa yang aku boleh tahu."

Jawab ular:
"Kamu adalah yang diambil dari laki-laki ketika ia tertidur.
Kamu adalah bukan laki-laki."

Kata perempuan itu lagi:
"Bahkan segala sesuatu di dalam taman ini bernama.
Kenapa aku tidak?"

Jawab ular:
"Karena laki-laki itu belum memberimu."

Malaikat lain turun dan meletakkan
sejumput api di dada perempuan itu
hingga tubuhnya gusar dan tak sabar.

Tapi laki-laki, manusia pertama itu, belum
juga datang. Dari layar menjelma cahaya
dan dari dalamnya terdengar suara. "Ia
berada di puncak bukit, menyebut penjuru
benda-benda langit dan menandai waktu
terbit dan tenggelamnya. Sejak itu,
manusia akan mengenal hari dan musim."
(Sejak itu, kemarin akan terpenjara dalam
kemarin dan hari ini cuma sebuah kotak
yang sempit. Di dunia yang masih baru ini
belum ada peti yang memuat cerita
cerita.)

Kata perempuan itu:
"Aku belum lagi mengenal aku. Bahkan asalku pun aku tak
tahu."

Ia menatap ke sepuluh jarinya. Tubuhnya
mulai merasakan bingung. Di ruas-ruas
jari itu tertulis 'tanah', tapi ia tak ingat
apa-apa tentang tanah. Di sana juga
tertulis 'rusuk', tapi ia cuma tahu
beberapa langkah dari ada ke bawah
pohon.

Ular tak menjawab. Ia turun dari pohon,
melilit perempuan itu, dan mencium
keningnya. Hidung dan bibirnya. Di
dadanya, malam jatuh tiba-tiba. Di
dadanya, sebuah badai menderu – seolah
dari selatan. Panggung gaduh. Anak-anak
angin merutuki daun-daun. Binatang
binatang lari kocar-kacir ke tepi.
Sembunyi. Badai mendamparkan
perempuan itu ke pokok pohon dan ia
seketika buta.

Di balik matanya ular menjelma manusia
– serupa makhluk di kulit sungai. Ia
mendekat. Ia melekat: perempuan itu dan
kembarsiamnya. Tubuhnya ganda dengan
bibir yang saling melekap, busung yang
saling bertaut dan meradang dan kulit
yang jadi basah.

Bulan separuh kuning dan tujuh bintang
redup yang terbanting.  Perempuan itu
belajar dengan menyentuh hingga jerit
meletar seperti petir yang terjepit di ketiak
bukit. Lalu semua luruh. Tubuh dan buah
buah dari pohon kehidupan dan pohon
pengetahuan tentang yang baik dan yang
buruk.

Setelah itu, badai  reda. Dan ular kembali
melata. Perempuan itu tergeletak tak
bergerak. Tapi kita sama-sama tahu bahwa
ia tidak mati. Kita hanya tahu bahwa
tubuhnya telah tahu.

Laki-laki, manusia pertama itu, tetap tak
terlihat. Dari balik semak-semak, ular
mendesis:
"Sekali-kali kamu tidak akan mati. "

Perempuan itu mendengar, dan terjaga
dalam mimpi buah-buah pohon terlarang
yang terserak di tanah. Seperti telur, kulit
buah-buah itu retak. Dari dalamnya keluar
malaikat-malaikat bertopeng malam.
Masing-masing dengan aksara yang
terukir di kening. Pelan-pelan mereka
terbang dan membentuk gumpalan awan
gelap. Lalu satu persatu jatuh seperti
hujan.  Di panggung, sebuah kubangan
dari sayap-sayap patah terbentuk. Makin
lama makin besar. Hingga terbentang laut
yang kelam.

Perempuan itu mendekat dan melihat di
muka laut yang hitam  makhluk yang
indah. Di kepalanya ada surai yang
berkilau. Di dadanya sepasang buah yang
molek. Di pangkal kakinya segumpal
semak berduri. Dan ia menatapnya. Tapi
ia tak takut lagi, karena ia telah
mengenalnya.

Dicelupkannya kakinya ke dalam laut dan
laut membuka seperti lembar-lembar
dalam buku yang terus menerus
membuka.  Perempuan itu berjalan makin
ke dalam dan ia merasa bungah. Sesaat
sebelum terbenam, di dasar laut dilihatnya
wajah Tuhan. Tanyanya:
"Apakah aku akan mati?"

Dari mulut ular yang tergambar di bulan,
terlontar jawaban:
"Sekali-kali kamu tidak akan mati. Tapi
kamu akan tahu bahwa kamu akan mati."

Setelah itu cuma terdengar langkah laki
laki, manusia pertama itu, mendekat.

Di baris ke tujuh sebelah kiri, empat kursi
dari ujung, Tuhan duduk dan menangis.
Di tangannya tergenggam sebuah dadu.
Pada semua sisinya tertulis: dosa.