Zetan

Putu Wijaya

Illustration by Dianna Xu

SEBELAS

GURU berbaring di kursi malas badannya dibalut. Kepalanya juga dibalut akibat luka-luka. Ia mengenakan kain sarung. Perlahan-lahan ia bangun dengan susah-payah, tapi kemudian jatuh. Ia bangun lagi tapi terus jatuh. Ia berusaha lagi bangun untuk ketiga kaklinya dan bisa, tapi kemudian kaki kanannya copot. Ia berteriak kesakitan. Lalu duduk. Ia mengambil lagi kaki kannnya itu dan memasangnya ke dalam sarung.

GURU:   Tapi aku tidak menyesal jadi guru. Miskin, dibetot habis padahal tidak salah, ungung hanya kehilangan kaki, itu memang nasib guru di dunia ketika. Asal jangan kehilangan kepala dan perasaan, aku akan terus bertahan samp[ai titik darah penghabisan. (Terdengar kjeplok tangan seru.) Tidak usah keplok tangan, ini bukan kampanye. Aku Cuma mau bilang: kalau tidak siap berkorban, jangan coba-coba jadi guru. Siapa suruh? Hanya satu yang aku sesalkan. Hanya satu saja. Kecil tapi penting sekali.

SUARA:   Apa?

GURU:   Mereka semua tidak merasa tersendir oleh perjuanganku.

SUARA:   Mereka siapa?

GURU:   Semuanya! Tetangga, kenalan, masyarakat di sini, di mana-mana, kecil, gede sama saja tidak ada yang peduli pada pengorbanan lagi. Semuanya mau enak sendiri. Setan!

SUARA:   Lho guru kok pakai naik darah?

GURU:   Biarin! Aku juga manusia biasa yang punya emosi. Aku bukan robot!Kalau sudah kesel, sebel, bagaimana lagi? Masak membetot anak didik. Terpaksa aku salurkan dengan mulut. (Berteriak keras sampai habuis nafasnya.) Titit besarrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr! Kontol gedeeeeeeeeeeeeeeeeeee!

SUARA:   Oke sudah lega?

(GURU tiba-tiba merasa sehat. Lalu dia membuka sarungnya dan bebas berdiri tanpa tongkat. Kelihatan segar.)

GURU:   Ternyata kalau sudah ngomong jorok, sakitnya hilang.

SUARA:   Jadi meskipun guru, tetap saja manusia biasa yang banyak dosa.

GURU:   Betul. Ente tahu aja! (Terkejut.) Lho aku bicara dengan siapa ini?

(GURU melihat ke sekitarnnya.)

GURU:   Siapa itu di sana?

(Suaranya bersiponggang dan kembali kepadan ya keras sehingga dia agak mental.)

GURU:   Sapa itu?

(Suaranya bersiponggang tambah keras dan kemudian menghantam lebih dahsyat sehingga ia jatuh. Guru cepat berdiri. Lalu bertanya dengan sopan.)

GURU:   Siapa itu? Apa aku bicara dengan hati kecilku seperti Bima waktu ketemu Dewa Ruci?

(Terdengar bunyi bel sepeda. Lalu masuk seorang naik sepeda butut. Ia menakai celana pendek dan seragam sekolah, lengkap dengan tasnya.)

GURU:   Siapa itu?

ZETAN:  Masak lupa?

GURU:   Tukang Pos

ZETAN:   Bukan. Aku Zetan.

(Guru langsung berdiri.)

GURU:   Jangan main-main!

ZETAN:   Sumpah, aku Zetan.

GURU:   Kok kecil, imut-imut?

ZETAN:   Biar kecil aku tetap Zetan.

GURU:   Tidak mungkin!

ZETAN:   Perlu dibuktikan rupanya?! (Membanting petasan banting, lalu muncul asap.)

GURU:   Jangan! Jangan! Aku percaya!

ZETAN:   Kebetulan. Smoke’s gunnya juga kehabisan minyak. (Batuk-batuk sambil mengipas-ngipas asap supaya berhenti batuknya.)

(Zetan kemudian mengambil bangku plastik yang ada di boncengan sepeda berikujt meja kecil. Ia menaruhnya di dean GURU. Lalu duduk membuka kotak makanan. Menuangkan itu ke mulutnya, lalu menu&angkan minuman dari botol ke mulutnya. Lalu menyimpan semuanyta dengan cepat. Setelah itu dia mengambil buku tulis, lalu duduk, menghadpa GURU, siap untuk menulis.)

ZETAN (suara kekanak-kanakan):   Aku sudah siap.

GURU:   Siap apa?

ZETAN:   Belajar. Aku ingin jadi pahlawan.

GURU:   Apa?

ZETAN:   Aku Ingin Jadi Pahlawan. Pah-La-Wan! (Siap untuk menulis apa yang akan dikatakan GURU.)

(GURU terkesima.)

ZETAN:   Pahhhhhhhhh . . . . . . . . . la . . . . . . . . . . . wan!

(GURU masih bengong.)

ZETAN:   Pahlawan yang lebih hebat dari pahlawan-pahlawan yang sudah pernah ada! Bukan pahlawan gadungan. Bukan pahlawan kesiangan. Bukan juga pahlawan kampungan. Tapi pahlawan sejati. Kalau kamu tidak bersedia aku cabuti sekarang bulu kamu sehelai demi sehelai. Mulai dari bulu (Menoleh ke nan dan ke kiri.) mumpung tidak ada Pansus RUU Aksi Pornography dan Pornoaksi, bulu

GURU:   Tidak bisa!

ZETAN:   Aku tadi mau bilang bulu kaki. Masak mau bilang bulu kaki saja dilarang. Negeri apa ini! Guru apa kamu! Kalau bulu jembut itu baru tangkap! Ini kan TIM. Tempat Indonesia Merdeka. Bisa kualat sama Ali Sadikin kamu, Pak Guru.

GURU:   Diam!

ZETAN:   Lho guru kok kayak penguasa! Kolonial!

GURU:   Setan tidak bisa jadi pahlawan!

ZETAN:   Berarti referensi kamu kuno! Dulu hanya bangsawan bisa jadi raja. Anak presiden bisa jadi presise. Sekarang pelawak juga boleh jadi presiden. Bromocorah juga boleh jadi pahlawan, tahu goblok. Guru apa sih kamu, gitu saja ketinggalan. Makanya jangan ngerem di WC saja sibuk main gosok sampai badan kamu kayak cacing, keluar tatap matahari, hari gini kok masih bicara soal, soal apa tadi, Setan tidak bisa jadi pahlawan? Memang kenapa? Apa manusia lebih baik dari setan? Tiap detik menyebut-nyebut nama Tuhan, tapi kelakuanmu kayak telek! Itu ribuan hektar hutan Kalimantan kamu babat habis, milyardan duit rakyat kamu gerogoti, perempuan dan anak-anak kami injak-injak saja seenak udelmu sendiri, hukum ditegakkan untuk menghukum orang tidak bersalah dan melindungi bromocorah. Taek semua itu! Mana lebih setan, manusia yang kesetanan atau setan yang kecil, mungil dan pakai celana pendek ini? Ke sekolah saja aku pakai sepeda butut sementara anak-anak pejabat itu diantar oleh jaguar, padahal gaji pejabat itu kata Wapres kan untuk makan saja tidak cukup? Ah Ente nggak usah ngomong lagi, ajarin saja aku jadi pahlawan, berunding melulu kapan bertindaknya, nanti keburu Pemilu lagi!

GURU:   Se . . . !

(SETAN meloncat dan langsung mencekek leher GURU, tangannya satu lagi mencekek buah ampulur GURU.)

ZETAN:   Aku tahu kamu mau bilang: Setan! Busyet! Apa salahnya setan jadi setan! Apa salahnya setan mau jadi pahlawan, kalau manusia sudah tidak sanggup lagi? Ah? Lihat itu manusia-manusia yang ngaku pahlawan, kelakuannya ceme, mencret semua kalau sudah duduk di kursi, mabok kekuasan dan teler urusan duit. Jangan berlagak lhu! Buktinya kita sama saja! Mau mati atau mau aku pecahin ini?

GURU:   Jangan! Itu kepunyaan istriku!

ZETAN:   Makanya! Ajarin aku jadi pahlawan!

GURU:   Tidak mungkin itu menyalahi prosedur

(ZETAN melepaskan cekeken leher dan memusatkan pada pijitan pada barang GURU.)

GURU:   Jangan!!!!!!!!!!!

ZETAN:   Makanya! Ajarin! Ayo!

GURU:   Bagaimana aku ngajarin kalau barangku digigit.

ZETAN:   Siapa yang gigit? Ini Cuma pegang! Barang sudah arfkir begitu! Sok lhu! Nyoh! (Melepaskan.)

(GURU agak lega karena dilepaskan.)

GURU:   Aduh, kalau tidak ditipu, tidak akan dilepaskan.

ZETAN:   Ayo cepetan! Aku tidak sabar

(ZETAN duduk lagi manis di kursinya siap menulis.)

GURU:   Persyaratan jadi pahlawan itu berat.

ZETAN:   Tahu!

GURU:   Jiwanya harus kuat.

ZETAN:   Tahu, tahu, tahu! Tahu! Sudah nggak usah banyak cincong, ajarin aja!

GURU:   Tanggungjawabnya lebih berat lagi.

ZETAN:   Tahu!

GURU:   Kalau sudah tahu kenapa minta diajarin?

ZETAN (terkejut):   Ah?

GURU:   Kalau sudah tahu kenapa bertanya lagi?

ZETAN (membenarkan):   O itu baru pertanyaan bermutu. (Tiba-tiba berbalik lagi menggebrak.) Sebab aku mau menguji kamu!

GURU (ketawa sinis):   Na, sekarang aku yakin kamu memang setan. Setan memang suka membolak-balik omongan seperti politikus. Aku tidak mengatakan politikus itu tukang putar-balik omongan. Tapi aku hanya bilang kamu memutar-balik omongan seperti politikus. Jadi kamu bakat politkus, tapi bukan pahlawan, Setan! Atau mau jadi seniman saja?

ZETAN:   Terimakasih. Bakatku hanya jadi pahlawan.

GURU:   Kalau begitu, siapa guru kamu sebelumnya? Pasti ajarannya ilmu sesat!

ZETAN:   Kamu!

(Jantung GURU berdentum keras.)

GURU:   Kok jadi aku?

ZETAN:   Kan kamu, sudah mengajarkan, syarat paling mendasar untuk menjadi pahlawan adalah pengorbanan. Pengorbanan total tanpa pamrih! Betul tidak?!

GURU:   Betul.

ZETAN:   Kamu bilang kalau mau jadi pahlawan harus siap mati. Betul?

GURU:   Masak?

ZETAN:   Kok masak. Yakin!

GURU:   Kenapa?

ZETAN:   Karena begitu jadi pahlawan kamu sudah jadi milik rakyat, bukan milik anak-istrimu lagi, bukan milik keluargamu, bukan milik RT dan RW mu, bukan milik suku kamu, bukan milik golongan kamu, bukan milik agama kamu. Kamu milik rakyat semua! Pahlawan itu manusia yang sudah mati!

GURU:   Aku belum pernah mengatakan begitu.

ZETAN:   Tapi kamu setuju?

GURU:   Setuju sekali.

ZETAN:   Kamu juga setuju bahwa pahlawan itu adalah abdi rakyat?

GURU:   Ya.

ZETAN:   Sebagai abdi dia akan menyediakan dirinya untuk pijakan kaki rayat yang mau menyebrang dari neraka jahanam untuk pindah ke surga kenikmatan!

GURU:   Betul.

ZETAN:   Dienjek-injek dengan kaki yang korengan, belepotan kotoran juga tidak akan mengeluh, asal untuk keahagiaan rakyat semua.

GURU:   Tidak akan mengeluh!

ZETAN:   Sama sekali tidak marah kalau dikritik!

GURU:   Tidak.

ZETAN:   Tidak suka mencari kambing hitam, tidak mau menyalahkan keadaan

GURU:   Tidak

ZETAN:   Diem! Aku belum selesai ngomong. Tidak akan berdalih tidak mampu bertindak dan memngubah keadaan karena keadaanya sudah terlalu payah. Tapi terus saja bekerja.

GURU:   Terus

ZETAN:   Walaupun akhirnya kalah, menyerah dan harus diganti, rela!

GURU:   Rela

ZETAN:   Demi Nusa dan Bangsa

GURU:   Itu namanya pengorbanan.

ZETAN:   Sama sekali tidak menuntut untuk dihargai!

GURU:   Tidak!

ZETAN:   Menolak nepotisme

GURU:   Jelas

ZETAN:   Melawan kekejaman, menentang pelecehan pada perempuan.

GURU:   Tanpa reserve

ZETAN:   Melindungi anak-anak

GURU:   Menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan dan kebenaran, kesetaraan.

ZETAN:   Membela demokrasi

GURU:   Merdeka!

ZETAN:   Kok merdeka?

GURU:   Itu memang syarat pahlawan.

ZETAN:   Kalau begitu ajari aku sekarang!

(Kembali ke tempat duduknya dan siap menulis. GURU diam saja.)

ZETAN:   Ayo!

GURU:   Ayo apa?

ZETAN:   Ajari aku jadi pahlawan.

GURU:   Ajari apa lagi, kamu sudah lulus.

(ZETAN terkejut.)

ZETAN:   Apa

GURU:   Kamu sudah lulus.

ZETAN:   Aku sudah lulus?

GURU:   Ya!

ZETAN (bangun dan marah):   Bangsat! Kamu pikir aku bodoh? Aku ini setan tahu?! Jangan coba-coba menipu setan. Mentang-mentang aku mengaku mau berguru, kamu lalu menghina kecerdasanku seperti tayangan televisi itu ya?!! Sialan! Aku sembur lagi baru tahu rasa kamu! Tujuanku tidak bisa dibelokkan. Lebih baik aku mati daripada gagal!

GURU:   Itu dia watak pahlawan!

ZETAN:   Ah prek! Jangan coba-coba memuji. Aku geli kalau pantatku dijilati! Gua telan sekalian tahu rasa lhu! Kamu kok menyamakan aku dengan wakil-wakil rakyat yang mengejar jabatan untuk cari makan itu! Tidak! Kebenaran bagi aku di atas segala-galanya. Itu prinsip, tidak bisa ditawar.

GURU:   Lebih baik mati berkalang tanah . . .

(ZETAN langsung menimpali.)

GURU dan SETAN:   dari pada mati bercermin bangkai. Rawe-rawe rantas-malang-malang buntung. Sekali berarti sudah itu mati!

(Suara berdentam tanda keduanya sepakat.)

GURU:   Begitu memang seharusnya pahlawan!

ZETAN:   Memang begitu tidak bisa tidak! Kalau tidak, apa bedanya pahlawan dengan tukang kredit, apa bedanya tukang beca dengan tukang minyak dan tukang sayur? Pahlawan itu mengorbankan segala-galanya untuk cita-cita yang mulia.

GURU:   Segala-galanya!

ZETAN:   Mobil, rumah, duit, kedudukan, kehormatan, bintang jasa, keluarga, tidak ada artinya dibandingkan dengan bangsa, negara dan Tanah Air!

GURU:   Kalau disogok satu trilyun?

ZETAN (ketawa sinis):   Satu trilyun? Kalikan lagi seribu! Tambah lagi dengan seribu bidadari untuk selir, tetap saja tidak bisa. Maaf, mengedipkan sebelah mata pun aku tidak akan mau, apalagi yang namanya berkhianat menjual negara? Itu aib!

GURU:   Lulus cum laude!

ZETAN:   Pahlawan itu begitu. Makanya ajari aku sekarang cepat jadi pahlawan.

(GURU bingung. Menggeleng-gelengkan kepala.)

GURU:   Dasar setan! Tahunya hanya buka mulut.

ZETAN:   Aku siap Guru.

GURU (ke arah ZETAN):   Heeeeee! Sampeyan sudah lulus!

ZETAN:   Lulus apa?

GURU:   Sampeyan sudah pahlawan, tidak perlu belajar lagi.

ZETAN:   Siapa bilang? Jangan tolak aku guru, itu lebih kejam dari pembunuhan!

(SETAN menyembah.)

GURU:   Tidak perlu menyembah, kamu sudah lulus!

ZETAN:   Bagaimana lulus, belajar saja belum?

GURU:   Itu dia!

ZETAN:   Kok itu dia!

GURU:   Tanpa belajar saja kamu sudah tahu. Itu artinya bukan saja berbakat tapi kamu jenius!

ZETAN:   Setan imut-imut begini jenius? (Sebenarnya bangga.) Guru goblok! Tak keplak sisan kamu!

GURU:   Lho serius! Dengan bisa mengatakan secara tepat apa itu pahlawan, seperti yang kamu lakukan tadi, berarti kamu sudah menjadi pahlawan. Pahlawan itu adalah, apa kamu bilang tadi?

ZETAN:   Pahlawan adalah orang yang sudah membunuh dengan kejam dan tuntas hawa-nafsu pribadinya, karena seluruh dirinya dikorbankan untuk kepentingan nusa-dan bangsa

GURU:   Coba ulangi?

ZETAN:   Pahlawan adalah orang yang sudah memberikan tubuh dan jiwanya untuk Tanah Air dan Bangsa, karena itu ia bukan lagi milik keluarganya, bukan milik golongannya tapi milik rakyat seluruhnya.

GURU:   Itu lebih indah dari puisinya Goenawan Mohammad

ZETAN:   Siapa itu Goenawan?

GURU:   Dikasih tahu juga kamu tidak akan ngerti. Pokoknya kamu sudah lulus. (Mengulurkan tangan.) Selamat.

(ZETAN tercengang.)

GURU:   Ayo jabat tangan!

ZETAN:   Lulus? Aku sudah lulus? Ah, aku jadi malu!

GURU:   Betul aku tidak basa-basi.

(ZETAN berdiri.)

ZETAN:   Aku jadi merasa tolol.

(GURU mengambil tangan ZETAN dan mengguncangnya. Tiba-tiba ZETAN memeluk GURU erat.)

ZETAN:   Guru!

GURU:   Aduh jangan keras-keras aku bukan setan!

ZETAN (melepaskan pelukan):   Sorry, kau mulia sekali, guru. Jadi aku sudah lulus ya, padahal belum dihajar?

GURU:   Kamu lulus!

ZETAN:   Oh Guru!

(ZETAN langsung hendak memeluk GURU. GURU cepat mengelak.)

ZETAN:   Guru! Di negeriku kalau berterimakasih kita harus berciuman. Guru!

(ZETAN mau memeluk GURU. GURU menjerit.)

ZETAN:   Guru!

GURU:   Tolonggggg!

(GURU lari keluar. ZETAN memburu. Terdengar music ZETAN.)